Lihat ke Halaman Asli

Ibunya fawwaz

An amateur housewife

Ke Dunia, Apa yang Kau Cari?

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13323353642127867812

Film Negeri Lima Menara berkisah tentang Alif (Gazza Zubizzareta) yang ingin melanjutkan sekolah di Bandung demi meraih mimpinya menjadi seorang 'BJ Habibie'  bersama sahabatnya, Randai (Sakurta Ginting). Pada akhirnya Alif muda berhasil merantau ke Jawa, bukan ke Bandung melainkan ke Pondok Pesantren Madani, Ponorogo, Jawa Timur. Bukan karena cita-citanya ia berada di Pondok, tapi karena nasehat Sang Ayah (David Chalik), " Jabat (jalani) dulu, baru kita tahu”, yang penting dijalani dulu, baru kita bisa menilai lebih dalam dan demi membahagiakan Sang Amak (Lulu Tobing).Di Madani, ia akhirnya bersahabat dengan Baso (Billy Sandy) dari Gowa, Atang (Rizky Ramdani) dari Bandung, Said (Ernest Samudera) dari Surabaya, Raja (Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid (Aris Putra) dari Madura. Karena seringnya mereka berkumpul dibawah menara akhirnya mereka dijuluki dengan "Shohibul Menara" alias pemilik menara. Berawal dari menara inilah mereka bertekad untuk mengejar mimpi mereka ke lima negara yang memiliki menara berbeda, Indonesia, Amerika, Eropa, Asia dan Afrika. Dengan semangat man jadda wajada yang ditularkan oleh ustadz mereka, Ustadz Salman (Donny Alamsyah) mereka saling berjanji untuk menjadi orang besar yang bermanfaat bagi orang lain. Namun ditengah keakraban dan ketekunan mereka terdapat konflik yang terjadi antar pemain dan konflik batin yang terjadi pada Alif yang tiba-tiba ragu akan pilihan hidupnya. Akankah Alif memilih tetap belajar di Madani dan meneruskan niat mulia Amaknya yang menginginkan Alif menjadi penerus Buya Hamka? Ataukah memilih berhenti belajar di Madani dan meneruskan cita-cita awalnya menjadi penerus BJ Habibie? Apalagi jawaban surat Amak yang mengatakan bahwa yang terpenting bukan dimana kita berada, tapi kesungguhan hati dalam menjalaninya.

Dari awal penonton disuguhi konflik batin yang mendalam. Kegalauan yang memang harus para pemuda galaukan. Galau akan pilihan hidup, galau akan masa depan mereka. Selalu mencari, dan mencari. Mungkin ini yang membuat film ini begitu terasa hidup. Sesuatu yang memang terjadi dalam realita berkehidupan kita sehari-hari. Alur dikemas sangat apik, walau di beberapa tempat tak sesuai dengan karangan tulisnya namun cukup membuat penggemar novel dengan judul yang sama ini puas. Anda tidak puas dengan ulasan saya? Silahkan lihat sendiri film ini di bioskop-bioskop kesayangan anda! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline