Lihat ke Halaman Asli

Paradoks ACFTA: Fair Trade, Atau Free Trade?

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

aku cinta produk Indonesia: saatnya diubah menjadi AKU BELI PRODUK INDONESIA.

FTA ASEAN-China harus dipastikan sebagai keuntungan bagi kedua pihak. Tidak semata pertambahan pangsa pasar yang tidak seimbang. Bagi Indonesia, perjanjian itu mutlak mensyaratkan perbaikan infrastruktur dan perbaikan daya saing industri, jika tidak ingin tersisih.

Kesepakatan Kawasan Perdagangan Bebas atau Free Trade Area (FTA) antara negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau Association of South East Asian Nation (ASEAN) dengan Republik Rakyat China (RRC) telah ditandatangani oleh 10 Kepala Negara anggota ASEAN dengan Kepala Negara RRC pada tanggal 4 November 2002 di Phnom Phen, Kamboja. Penandatangan kesepakatan FTA ASEAN-China tersebut merupakan kelanjutan dari ASEAN China Comprehensive Economic Cooperation yang telah disepakati para pemimpin negara ASEAN dan RRC pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN tanggal 6 Nopember 2001 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.

Penandatanganan kesepakatan

FTA ASEAN-China tersebut setidaknya memiliki empat tujuan utama. Pertama, untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi di antara para anggota. Kedua, untuk meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu system yang transparan dan untuk mempermudah investasi. Ketiga, untuk menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijakan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi di antara para anggota, serta keempat, untuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota negara ASEAN baru (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam/CLMV) guna menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi di antara para anggota.

Sebelum realisasi perjanjian perdagangan bebas dengan China, kita telah mendapati hampir segala produk yang digunakan saja bertuliskan made in China. Bahkan tidak sedikit produk dari negara maju yang masuk ke Indonesia pun mengikutsertakan produk China sebagai perlengkapannya. Ada yang mengatakan andai saja produk impor China dikembalikan ke Negara asalnya, maka tak akan ada cukup ruang untuk hidup penduduk China. Setelah adanya Perjanjian ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) , perekonomian Indonesia semakin terancam. Produk negara lain, khususnya negara anggota ASEAN dan terutama produk dari China bebas masuk ke Indonesia tanpa pajak dengan harga sangat murah. Sedangkan di Indonesia, hasil dari

produk yang terjual tidak bisa menutupi biaya produksi dan ekspor pun dikenai pajak tinggi pemerintahnya

Karena itu pemberlakuan pasar bebas ASEAN-China sudah pasti menimbulkan implikasi yang sangat negatif. Invasi produk asing terutama dari China di tengah lemahnya infrastruktur ekonomi, modal, daya saing, dan dukungan pemerintah, dapat menyebabkan hancurnya sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Pasar lokal dan nasional yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja., kondisi ini akan membuat karakter perekomian nasional semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing, bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor sedangkan sektor-sektor vital ekonomi nasional juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi nasional Indonesia?. Jika di dalam negeri saja kalah bersaing bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan China?.Terpangkasnya peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional karena perannya digantikan impor dampaknya juga menimpa penyediaan lapangan kerja. Tentu ini sangat memberatkan para pekerja dan pendatang baru dunia kerja

Perjanjian perdagangan bebas seperti ACFTA merupakan bentuk penghianatan pemerintah terhadap rakyatnya terutama grassroot yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi. Pemerintah selalu saja membangga-banggakan pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara signifikan. Tapi mereka melupakan unemployment (pengangguran) yang selalu bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya angkatan kerja baru dengan jumlah sekitar 2 juta orang per tahun yang mengakiatkan ketidaksejahteraan rakyat. Pemerintah melakukan keteledoran ini tanpa melihat kesiapan negara dalam menghadapi ACFTA, atau free trade yang lain. Sepertinya, mereka terlalu terlena akan kebanggaan keikutsertaan dalam perjanjian-perjanjian sampai lupa mempersiapkan diri.Sementara yang kita lihat dan rasakan kehidupan ekonomi rakyat semakin terhimpit sedangkan kemandirian negara semakin lemah. Infrastruktur buruk, ke-tidakefisien dan efektif-an birokrasi, keterbatasan akses pendanaan,inkonsistensi kebijakan dan peraturan tenaga kerja yang restriktif menambah daftar ketidaksiapan pemerintah terhadap perjanjian ACFTA. Yang menjadi pertanyaan, kemana komitmen pemerintah untuk mengangkat perekonomian rakyat lewat industri rumah tangga dan produk-produk dalam negeri? Rakyat tidak mengerti alasan pemerintah menandatangani perjanjian ini. Hal ini dirasa bertentangan dengan janji presiden untuk penguatan ekonomi kerakyatan di awal. Jadi, apakah penerapan ACFTA ini akan menjadi fair trade, ataukah hanya akan mnjadi free trade tanpa memperhatikan fair trade bagi para grassroot?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline