Munculnya masalah khilafiyyah (perbedaan pendapat) dalam Islam bukan lagi hal baru. Khilafiyyah tak seharusnya menjadi pemecah persatuan umat Islam. Khilafiyyah ditoleransi jika hanya meliputi hal-hal furu’ bukan hal –hal asal, perbedaan hanya sebatas pada implementasi bukan pada keyakinan yang haqiqi. Semua umat muslim sejatinya hanya menyembah Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusannya, sebagai mana ikrar syahadat diucapkan sebagai akad seorang manusia untuk menyatakan bahwa dirinya memeluk Islam dan hanya mengabdikan dan menghambakan diri pada Allah SWT.
Upaya penghambaan diwujudkan dengan berbagai ucapan dan tindakan yang mana semua ucapan dan tindakan tersebut hanya ditujukan untuk meng-Esakan Allah. Meskipun dalam perbuatannya kadang kala ditemukan perbedaan. Tapi tak seharusnya perbedaan kecil tersebut disulut hingga membesar dan menimbulkan perselisihan antar umat muslim. Toleransi dengan sesama, rasa menghargai dan menghormati yang seharusnya terus dikobarkan karena semua perbuatan yang dilakukan semata karena Allah. Namun kadang kala manusialah yang justru salah mengartikannya. Mirisnya kesalahpahaman dan penyalahartian tersebut terjadi antar umat Islam sendiri, tentulah menjadi hal sangat menyedihkan. Padahal sebagai umat Islam hendaknya menyadari bahwa setiap ucapan dan tindakan yang dilakukan masing-masing muslim tersebut dimaksudkan sebagai bentuk kesaksian akan ke-Esaan Allah.
Kita sebagai muslim, apakah kita rela persatuan umat kita terpecah hanya karena kesalahpahaman antar umat kita sendiri yang seharusnya bisa kita jadikan sebagai alasan untuk bersatu dan bersaudara. Kesalahpahaman bisa muncul dari perbedaan dalam memahami sehingga akan memunculkan perbedaan dalam menerapkan atau melakukan sesuatu. Perbedaan tersebut seharusnya bisa diminimalisir ataupun mungkin ditoleransi agar tidak menimbulkan perselisihan nantinya. Upaya meminimalisir dapat dilakukan dengan memastikan pemahaman sesuai dengan maksud yang memberikan perintah, yakni umat muslim harus memastikan bahwa semua golongan memahami apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dengan pemahaman yang sejalan, yakni perwujudan perintah tersebut dalam tindakan-tindakan yang sejalan. Namun, ketika pemahaman yang sejalan tidak lagi didapatkan maka upaya toleransi dapat dilakukan, meskipun tindakan-tindakan yang dilakukan masing-masing golongan tidak sejalan bahkan mungkin berlainan tetapi semua adalah ditujukan sebagai wujud peng-Esaan kepada Allah.
Maka, hendaklah melihat pada para sahabat, para salafus shalih, para ulama bagaimana menghargai khilafiyyah yang ada. Empat madzhab telah menjadi bukti khilafiyyah yang nyata bagi umat muslim, tetapi bukankah keempatnya merupakan hasil ijtihad yang luar biasa dari masing-masing imam madzhab. Imam madzhab bukan orang sembarangan, pemahaman agama Islam yang sangat mendalam dan telah menghafal Al-Qur’an dan ribuan hadits serta menghadapi masalah, masyarakat dan lingkungan yang beragam, meskipun begitu khilafiyyah itu tetap ada. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah keilmuan kita telah melebihi keilmuan para salafus shalih hingga berhak menganggap golongan kita yang paling benar dan golongan yang lain salah? Marilah belajar mendalami Islam, belajar menghargai perbedaan, maka akan kita temukan indahnya kebersamaan dan persaudaraan dalam Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H