Dua pekan yang lalu, di Jogja lahir sebuah gerakan politik warga yang bernama Jogja independent atau yang akrab disapa JOINT yang secara resmi dideklarasikan pada tanggal 20 Maret 2016. Sejumlah tokoh lokal dan nasional yang turut hadir dalam acara itu antara lain: Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Dr Edy Suandi Hamid, mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas, pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Rimawan Pradiptya, mantan Ketua MK Mahfud MD, serta para seniman –budayawan dan sejumlah aktifis.
JOINT adalah rumah sekaligus alternatif bagi masyarakat Jogja yang ingin berpartisipasi di Pilwalkot Jogja melalui jalur non partai. Tentunya, dengan hadirnya JOINT ini disambut baik oleh sejumlah masyarakat yang ingin menjadi calon Walikota Jogja tanpa harus melalui jalur partai politik satu sisi, namun disisi lain menjadi kritik atas partai politik yang dinilai terlalu mahal memasang tarif politik.
Sebagai sebuah gerakan, JOINT hadir bukan dengan tiba-tiba, melainkan sebuah respon atas fenomena pembusukan politik yang pangkal masalahnya lahir dari sirkulasi elit di tubuh partai politik yang dinilai tidak sehat, penuh dengan politik transaksional, mahar politik yang mahal, dan model rekruitmen patronian.Partai politik yang digadang-gadang menjadi salah satu tiang penyangga demokrasi itu sekarang terbelit masalah krusial. Partai politik sudah mulai pragmatis dan terseok-seok dalam menjalankan roda mesin partai. Alih-alih, bisa membentuk kader yang militan, untuk menghidupi dirinya sendiri saja partai politik harus bermain proyek gelap dengan pemerintah.
[caption caption="jogja Independent"][/caption]
Menggali Potensi Jogja
Jogja memang menjanjikan berbagai macam harapan dan cita-cita. Bagi mahasiswa, Jogja merupakan kota dengan segudang keilmuan dengan berdirinya universitas-universitas diberbagai sudut kota, penerbit-penerbit buku bertebaran, Perpustakaan-perpustakaan berdiri kokoh, berletakkan strategis agar nilai kemanfaatanya tercapai secara maksimal. Demikian pula,bagi para budawan, Jogjapun merupakan kota isnpiratif, dan imajinatif untuk berkarya.
Bagi pedagang, Jogja juga merupalan lahan stretegis untuk berbisinis dan menambah pendapatan ekonomis. Pun bagi wisatawan, Jogja adalah kota yang mengasyikkan untuk berlibur. Kompleksitas yang ada pada diri Jogja inilah impian untuk menjadi ‘jatung peradaban’ akan menjadi kenyataan. Terbukti, Jogja telah melahirkan berbagai tokoh bangsa dan intelektual-intelektual muda yang berbakat, licah serta berkualitas sebagai proses regenerasi untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa. Mengganti generasi tua yang telah uzur serta menjadi mesim penggerak untuk membangun bangsa Indonesia, kususnya dalam bidang pendidikan.
Menumbuhkan Harapan Baru
Pelbagai potensi yang dimiliki Jogja itu akan lebih terasa jika nantinya, kota ini bisa mendapatkan seorang pemimpin yang yang pas dan lahir dari rakyat Jogja yang sesunggungnya, bukan lahir dari elit parpol yang manis ketika berkampanye, tapi lupa ketika duduk dalam singgasana kekuasaan. Atas fenomena inilah warga harus turun tangan dan membuat gerakan untuk menghadirkan wajah politik yang bersih dan jauh dari kesan transaksional.
Hadirnya gerakan Jogja independent ini jelas menjadi fungsi korektif bagi partai politik yang dinilai tidak mampu menciptakan kader yang bagus dan militan. Harus disadari narasi partai politik selama ini memang terkesan negatif karena banyak dari kadernya yang menjadi penguasa nasional dan lokal terjerat kasus korupsi. Pangkal korupsi yang menjerat kader partai baik yang menjadi gubenur, walikota dan bupati disebabnya adanya perselingkuhan antara pejabat dengan pengusaha.
Olehnya, Hadirnya calon independent diharapkan bisa meminimalisir adanya potensi hegemoni politik gelap relasi antara elit dan pengusaha karena terbebas dari politik transaksi ketika proses menuju tangga kekuasaan. Dengannya pula,harapan baru untuk kota jogja yang lebih maju dan sejahtera akan tercipta seluruhnya dan seutuhnya.