Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) pada 18 mei esok lusa akan menjadi babak penting dalam kisruh yang terjadi di internal parta Golkar. Sebelum masuk ke PTUN, kisruh dua kubu di internal partai, yaitu kubu Ical dan kubu Agung Laksono sudah melalui berbagai usaha penyelesaian. Mulai dari upaya islah yang selalu menemui jalan buntu, hingga putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) yang nampaknya tidak memuaskan kedua belah pihak.
Putusan yang akan dibacakan oleh PTUN esok lusa merupakan sebuah langkah penting dalam upaya penyelesaian kisruh diantara dua kubu tersebut. Namun banyak pihak yang menerka-nerka, apakah putusan tersebut akan benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan, atau malah hanya akan menjadi babak baru dalam perpecahan dua kubu kepemimpinan parta Golkar.
Dalam rangkaian sidang yang dilaksanakan PTUN, kubu Ical bersikeras bahwa SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Munas Ancol tidaklah sah karena tidak punya landasan yang kuat. Ical dkk. berpendapat, tidak ada putusan bulat dalam sidang MPG di mana dari 4 hakim MPG, 2 hakim memenangkan Munas Ancol, sementara 2 hakim lainnya tidak memberikan pandangan. Namun bagi di sisi lain, kubu Agung Laksono sebagai tergugat yakin bahwa Menkumham sudah tepat dalam mengambil keputusan dengan argumen yang meyakinkan.
Kubu Agung Laksono menyatakan bahwa SK Menkumham mempunyai prosedur dan persyaratan yang sah, karena berangkat dari keputusan Mahkamah Partai Golkar. Sebagaiman yang tertuang dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik Pasal 32 yang menyatakan bahwa putusan dari mahkamah partai final dan mengikat. Hal ini berarti tidak ada upaya hukum lain yang dapat menganulir putusan MPG.Dalam logika ini, permohonan dari penggugat yakni Kubu Ical, seharusnya ditolak, atau setidaknya tidak bisa diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).
Langkah yang diambil hingga sampai ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan buah dari perbedaan pandangan tentang hasil keputusan sert wewenang yang bisa diambil oleh MPG. Kubu Ical menginterpretasikan bahwa MPG tidak bulat dalam mengambil keputusan, sudah sudah terbantahkan oleh sikap Ketua Majelis MPG Muladi. Surat ketidakhadiran Muladi yg disampaikan dalam sidang PTUN Jakarta pada Senin 27 April menegaskan putusan MPG yang selama ini menjadi polemik. Dalam keterangan tertulis yang dibacakan dalam lanjutan sidang PTUN, Muladi menjelaskan bahwa putusan MPG bersifat final dan mengikat secara internal, dan tidak benar apabila dinyatakan tidak ada putusan yang diambil MPG. Menurut Muladi, perbedaan pandangan antara 4 hakim harus dibaca sebagai satu kesatuan, karena putusan itu ditandatangani secara kolektif.
Muladi pun menegaskan dalam kesempatan sebelumnya, dirinya sudah pernah menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan dari kubu Ical maupun Agung Laksono, sehingga sikap dan pandangannya baik terhadap putusan MPG dan SK Menkumham sejatinya sudah tersurat dan tersirat dalam dua jawaban itu.
Kubu Agung Laksono Yang Kemungkinan Besar Menang?
Ketua DPP bidang hukum Partai Golkar kubu Agung Laksono, Lawrence Siburian sendiri memiliki tiga alasan dapat memenangkan perkara tersebut. Pertama, PTUN sebenarnya tidak berwenang mengadili surat keputusan pejabat tata usaha negara, dalam hal ini SK Menkumham yang sebenarnya sudah didasarkan pada putusan MPG. Hal itu didasarkan atas Pasal 2 huruf e UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Artinya PTUN tidak bisa mengadili sebuah perkara yang sudah final dan mengikat atau inkracht di sebuah badan peradilan lain.
Kedua, putusan sela yang diterbitkan PTUN tidak memiliki dasar. PTUN juga tidak berwenang mengeluarkan putusan sela, karena putusan tersebut diambil tidak sesuai dengan persyaratan untuk menerbitkan sebuah putusan sela. Ketiga, surat keputusan pejabat tata usaha negara (SK Menkumham) yang diadili saat ini bersifat deklaratif di mana Menkumham hanya mendeklarasikan atau mengumumkan hasil keputusan MPG dan tindakan itu tidak mempunyai akibat hukum.
Selain perdebatan substansi dalam sidang PTUN di atas, perlu juga dipertimbangkan konsekwensi dari keputusan tersebut. Skenario pemenangan salah satu kubu akan sangat berpengaruh pada peta perpolitikan nasional. Hal yang pasti terdampak adalah arah koalisi Partai Golkar, jika PTUN memenangkan kubu Ical maka arah pilihan menjadi oposisi akan tetap dipertahankan, sebaliknya jika kubu Agung Laksono yang dimenangkan maka arah koalisi kemungkinan akan berubah baik menjadi kekuatan independen maupun mendukung pemerintah.
Sikap beroposisi tentu akan cukup baik untuk mengawal kebijakan pemerintah, namun perseteruan yang berlarut-larut dan hanya dilandasi kepentingan kelompok hanya akan menyebabkan stabilitas politik terganggu. Tanpa landasan ideologis yang kuat, kekuatan oposisi juga hanya akan ditunggangi kelompok-kelompok oportunis yang hanya ingin meningkatkan posisi tawar untuk merongrong jalannya pemerintahan. Partai Golkar karenanya diharapkan bisa lepas dari dikotomi koalisi pendukung Pilpres dan fokus pada perjuangan nilai dan kepentingan yang dimilikinya sendiri.