Perpecahan di internal partai politik baru-baru ini mewarnai wajah demokratisasi di tubuh partai politik. Partai Persatuan Pembangunan misalnya, mengalami perpecahan antara kubu Muktamar Surabaya di bawah ketua Umum Romahurmuziy dan kubu Muktamar Jakarta dengan ketua umum Djan Faridz.
Hal sama juga dialami Partai Golkar. Kubu Munas Bali digawangi ketua umumnya Aburizal Bakrie (Ical). Kemudian Munas Jakarta menghasilkan ketua umum HR Agung Laksono. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sudah mengusulkan kedua kubu untuk berdamai, namun tetap tak bisa. Masing-masing merasa paling berhak atas kepengurusan partai beringin ini.
Dibandingkan PPP, Golkar bisa dibilang lebih menjadi sorotan, karena perolehan kursi di parlemen yang cukup besar. Meski gagal mengusung capres pada pilpres kemarin, tapi dia adalah pemegang kursi terbanyak kedua di parlemen. Dalam proses legislasi, pengawasan, dan anggaran, di DPR, partai yang lahir dari rahim Orde Baru ini tak bisa diremehkan.
Hal ini kemudian melandasi semangat Ical untuk tetap memegang kekuasaan di partai ini. Meski pada periode sebelumnya sudah memimpin, Ical tetap ingin menguasai partai ini.
Meski namanya berkali-kali disebut sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, Ical tetap maju dan ngotot utuk menguasai partai beringin. Bahkan pada pilpres kemarin Ical menawarkan diri menjadi capres ke berbagai koalisi parpol. Namun apa hasilnya? Belum sampai ke Pilpres, nama Ical sudah lebih dulu tenggelam. Tak ada yang mau mendukung capres satu ini. Jangankan capres, jadi cawaprespun, ketika itu, tak ada yang mau mengusungnya. Ironi dan Aib bagi Golkar yang dirasakan pula oleh seluruh kader partai ini di seluruh daerah.
Orang sudah terlanjur mengenal Ical sebagai orang yang terlibat dalam lumpur Lapindo. Masyarakat terlanjur mengenalnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas insiden yang pada periode 2006 - 2015 lalu mengakibatkan negara harus mengucurkan Rp 9,4 triliun untuk korban Lapindo. Negara harus menanggung beban atas kelalaian korporasi Ical. Hanya karena Ical negara ini harus merogoh kocek triliunan rupiah. Padahal masih banyak jembatan romboh, jalan rusak, sekolah ambruk, warga miskin dan masalah lainnya yang terabaikan karena pelaku elite negeri ini yang tidak adil.
Belum lagi utang korporasi Bakrie yang menumpuk. Bakrie Telecom atau BTel misalkan, mulai mencatatkan rugi bersih sejak 2011 dan mencatatkan ekuitas negatif sejak 2013. Pada 2011 perusahaan merugi Rp 782,7 miliar, kemudian utang kian melonjak menjadi Rp 3,13 triliun pada 2012 dan Rp 2,64 triliun pada 2013. Ini belum termasuk perusahaan Bakrie lainnya.
Meski perusahaannya berhutang, kemudian persoalan lumpur lapindo belum beres, Ical tetap berkeinginan memimpin Golkar lagi. Sejak era Reformasi lalu, partai ini hanya dipimpin satu ketua umum dalam satu periode. Akbar Tanjung pernah memimpin. Jusuf Kalla yang kini menjadi wapres, juga sudah menjadi nakhoda partai tersebut.
Kemudian dilanjutkan Aburizal Bakrie pada 2009 hingga 2014 lalu. Populi Center mencatat, Golkar di bawah kepemimpinan Ical adalah yang terburuk sepanjang sejarah. Untuk pertama kali, Golkar meraih jumlah kursi di bawah 100, yaitu 91 kursi. Akbar Tanjung membawa Golkar sebagai pemenang pada Pemilu 2004 dengan 128 kursi. Jusuf Kalla terbilang gagal, tapi masih bisa mempertahankan kekuatan Golkar di parlemen sebanyak 106 kursi pada Pemilu 2009.
Dari rentetan masalah yang Ical hadapi, ada baiknya Ical untuk legowo meninggalkan panggung politik. Segera kembali kedunia usaha dan menyelesaikan berbagai masalah utamanya yang menyangkut derita rakyat.
Berhentilah memanfaatkan politik sebagai alat penyelesaian masalah bagi Ical. Sudah lelah rakyat mengikuti drama elit politik yang tak kunjung berujung kesejahteraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H