Apa itu hoaks? Sepertinya, istilah hoaks sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Hoaks diartikan sebagai informasi, berita, kabar yang mengandung unsur kebohongan atau palsu. Hoaks berisi tentang informasi yang direkayasa untuk menutupi fakta yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan informasi terlihat meyakinkan, tetapi kebenarannya tidak dapat diverifikasi. Berdasarkan data Kominfo, terdapat 11.357 isu hoaks yang beredar di masyarakat selama periode Agustus 2018 sampai 31 Maret 2023. Angka yang fantastis! Maraknya isu hoaks tersebut dapat disebabkan karena perkembangan media digital yang semakin masif. Media digital ini menjadi salah satu "pintu" keluar masuknya informasi yang dapat diakses dengan mudah dan cepat.
Salah satu media digital yang banyak digunakan oleh masyarakat, terutama mahasiswa adalah media sosial. Berdasarkan hasil survei terhadap 73 mahasiswa dari program studi X di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki akun media sosial yang digunakan untuk tujuan tertentu. Media sosial yang digunakan oleh mahasiswa tersebut antara lain WhatsApp, Instagram, Tik Tok, X, Facebook, Telegram, dan Line. Sebanyak 97,3% responden menyatakan bahwa mereka pernah menerima berita hoaks melalui media sosial tersebut. Sebaran hoaks paling tinggi menurut survei tersebut adalah melalui aplikasi Tik Tok dengan bentuk informasi hoaks berupa tulisan dan gambar. Konten dalam hoaks tersebut cenderung berisi tentang penipuan, politik, dan bencana atau berita duka. Maraknya informasi hoaks menuntut para pengguna media sosial agar lebih berhati-hati dalam menerima atau meneruskan sebuah informasi. Hal ini bertujuan agar pengguna tidak mudah percaya, bahkan terpengaruh oleh informasi hoaks yang beredar.
Lalu, bagaimana pandangan Psikologi tentang fenomena orang yang mudah percaya terhadap hoaks?
Dilansir dari situs verywellmind.com, terdapat istilah dalam Psikologi yaitu heuristik yang menjelaskan tentang kemungkinan orang mengambil jalan pintas mental atau aturan praktis untuk membuat keputusan atau memecahkan masalah dengan cepat dan efisien. Upaya jalan pintas mental ini sebenarnya dapat memudahkan seseorang dalam mengolah informasi yang sangat kompleks, tetapi upaya ini cenderung menyebabkan bias kognitif atau kesalahan dalam berpikir, menilai, atau mengingat informasi. Hal ini dapat menyebabkan seseorang menilai informasi dengan cepat tanpa mempertimbangkan atau berusaha mencari sumber informasi tersebut.
Seseorang yang mudah percaya dengan informasi hoaks cenderung mencari atau menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya. Mereka akan menghindari dan menolak informasi yang berlawanan dengan pendapat pribadinya. Situasi ini merupakan salah satu jalan pintas mental yang dikenal dengan istilah confirmation bias atau bias konfirmasi. Bias ini akan sangat memengaruhi seseorang dalam mencari, menafsirkan, dan mengingat suatu informasi. Pada saat seseorang mendapatkan informasi, bias konfirmasi ini dijadikan sebagai cara yang efektif untuk mengolah informasi tersebut. Seseorang akan mencari bukti yang mendukung pendapatnya dan mengabaikan bukti-bukti lain yang menyertainya. Hal ini menyebabkan seseorang akan menilai informasi berdasarkan stereotipnya. Contohnya, ketika kita menyukai kandidat politik tertentu, kita akan cenderung menanggapi berita-berita yang memiliki kesan positif dan mengabaikan berita yang berisi tentang fakta atau kritik mengenai kandidat tersebut.
Lalu, bagaimana cara menangkal maraknya informasi hoaks?
Keberadaan informasi hoaks di berbagai lini masa sudah sangat meresahkan masyarakat. Dampak yang ditimbulkan karena informasi hoaks sangat merugikan, seperti memicu perpecahan dan perselisihan, menimbulkan opini negatif terhadap media atau pihak tertentu, serta dapat memengaruhi kondisi psikologis seseorang. Maka dari itu, perlu adanya tindakan nyata dari berbagai pihak untuk bersama-sama memerangi hoaks. Artinya, setiap elemen masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa hoaks sangat berbahaya sehingga perlu adanya perubahan perilaku dalam menanggapi suatu informasi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah seseorang termakan oleh informasi hoaks adalah dengan mengembangkan kemampuan membaca kritis. Membaca kritis dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dengan memahami isi teks secara mendalam yang melibatkan proses berpikir kritis untuk memahami makna teks secara keseluruhan. Membaca kritis akan memungkinkan pembaca lebih aktif dalam memaknai isi teks yang dibaca. Pembaca dapat membandingkan bahkan mengkritik informasi dalam bacaan berdasarkan pengetahuan dan informasi yang sudah ada sebelumnya.
Pada penerapannya, seseorang perlu memunculkan rasa kecurigaan terhadap informasi yang diterimanya. Apabila menerima suatu informasi jangan langsung ditelan mentah-mentah tanpa adanya tindakan lebih lanjut untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Tindakan sederhana yang dapat kita lakukan untuk mengecek kebenaran suatu informasi adalah dengan melihat sumber media atau orang yang mengirim informasi tersebut. Lalu, kita juga dapat membaca judul atau headline informasi tersebut. Judul yang lebih provokatif dan cenderung menyudutkan suatu pihak perlu dicek terlebih dahulu kebenarannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H