Lihat ke Halaman Asli

Ironi Keistimewaan Yogyakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Status keistimewaan Yogyakarta yang baru disahkan beberapa waktu lalu disambut gembira oleh seluruh warga Yogyakarta, meskipun sebenarnya banyak hal yang harus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan untuk mempertahankan status keistimewaan tersebut. Seperti ungkapan merebut lebih mudah daripada mempertahankan, tampaknya Daerah Istimewa Yogyakarta harus memberi perhatian serius pada beberapa hal yang perlu diberi perhatian khusus. Semua orang pasti sepakat bahwa Yogyakarta adalah kota budaya, tetapi jangan sampai masyarakat memberi perhatian pada salah satu budaya - batik misalnya - dengan mengesampingkan hasil kebudayaan yang lain: Bahasa Jawa dan Aksara Jawa.

Sudah dua pagi, Rabu (19/09/2012) dan hari ini, Kamis (20/09/2012), Harian Tribun Jogja menampilkan berita yang membuat hati was-was akan kelangsungan status keistimewaan Yogyakarta. Bukan masalah plang Malioboro atau penghapusan Car Free Day, tetapi fakta bahwa Bahasa Jawa tidak disukai oleh para pelajar di Kota Budaya ini. Jujur, saya ndredheg saat membaca berita tersebut. Seolah menambah rasa cemas, Dr. Purwadi, dosen Bahasa dan Sastra Jawa UNY, mengatakan bahwa Bahasa Jawa lebih dilestarikan di Belanda dan Inggris. Opo tumon?

Anggapan bahwa Bahasa Jawa lebih sulit daripada Bahasa Inggris, memang sedikit banyak benar, tetapi bisa dimaklumi karena Bahasa Jawa adalah bahasa yang berhubungan erat dengan rahsa. Makanya, ketika mempelajari Bahasa Jawa, akan langsung memperoleh dua hal sekaligus, yang pertama tentu saja bahasa itu sendiri, kemudian yang kedua adalah sopan santun, etika, tata krama, unggah-ungguh. Semua orang tahu Bahasa Jawa mempunyai beberapa tingkatan; Ngoko, Madya, Krama ditambah Bahasa Jawa yang digunakan di lingkungan Kraton, Kedhatonan atau Bagongan. Aturannya pun jelas, Ngoko digunakan untuk bercakap-cakap dengan orang yang lebih muda atau sebaya, Madya sering digunakan oleh para istri kepada suaminya, dan yang terakhir Krama digunakan untuk bercakap-cakap dengan orang yang lebih tua dan dihormati.

Bandingkan dengan Bahasa Inggris, yang kadang memanggil 'ayah' langsung dengan namanya, atau kata 'you' untuk menyebut 'kamu'. Sementara dalam Bahasa Jawa, kata 'kamu' harus disesuaikan dengan lawan bicara, sampeyan, jenengan, dika, sira, ataupun pekenira. Itu baru standar percakapan sehari-hari, belum Bahasa Jawa di ranah sastra, yang akan dijumpai istilah-istilah Jarwo Dhosok, Keratabasa, Rupabasa, Yogaswara, dll.

Dengan adanya fakta tersebut, sebenarnya status keistimewaan Yogyakarta sedang dalam masalah besar. Yogyakarta adalah pusat Bahasa Jawa (saat ini), maka jika para pelajar tidak menyukai Bahasa Jawa, dikhawatirkan Bahasa Jawa akan punah suatu saat nanti, tergeser dengan Bahasa Inggris, atau Bahasa Indonesia. Kenapa Bahasa Indonesia? Karena saat ini banyak orang tua yang tidak mengajarkan Bahasa Jawa kepada anak-anaknya, melainkan langsung mengajarkan Bahasa Indonesia. Tentunya hal ini menyalahi kodrat, karena ragam bahasa di Indonesia adalah L1, L2, bahasa asing. L1 adalah bahasa ibu, semua bahasa daerah di Indonesia adalah L1. L2 adalah Bahasa Indonesia, kemudian bahasa asing adalah bahasa yang berasal dari luar Indonesia.

Peran L2 (Bahasa Indonesia) adalah untuk menyatukan perbedaan-perbedaan, bukan menghilangkan perbedaan-perbedaan latar belakang bahasa. Dan yang terjadi saat ini di Yogyakarta adalah Bahasa Indonesia perlahan-lahan menggeser Bahasa Jawa. Inilah yang harus diberi perhatian serius. Jika boleh menyarankan, jangan melulu mengandalkan pemerintah, tetapi harus dimulai dari lingkungan terdekat yaitu keluarga.

Dan untuk para guru Bahasa Jawa, secara khusus saya mohon agar berjuang sekuat tenaga dan tetap sabar untuk mengajarkan Bahasa Jawa karena bahasa ini adalah salah satu bahasa warisan dunia yang asal-usulnya sangat misterius. Bahasa ini juga mempunyai aksara, salah satu dari sedikit bahasa dunia yang mempunyai aksara. Dan untuk Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, akan lebih baik jika Bahasa Jawa dan Aksara Jawa lebih banyak terpampang di jalan-jalan, baliho-baliho, ataupun papan penunjuk jalan. Tentu saja ejaan harus dibenahi, karena masih banyak yang kurang tepat. Dan yang terpenting, mari bersama-sama warga untuk melestarikan Bahasa Jawa dan Aksara Jawa secara khusus, dan kebudayaan Jawa secara umum.

Salam asah, asih, asuh. Rahayu Rahayu Rahayu. Kuat Kuat Kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline