Ramadan sebagai bulan suci dan mulia memang sepatutnya disambut dengan gembira dan penuh suka cita. Berbagai macam cara dilakukan, ada yang sekedarnya, ada juga yang mengikuti adat istiadat, budaya, dan kearifan lokal.
Menjelang ditetapkannya awal Ramadan, ucapan selamat Ramadan berseliweran di media sosial. Kata-kata Selamat Ramadan, Ramadan Mubarak, Ramadan Karim menghiasi lini masa.
Ada yang mengucapkannya secara pribadi melalui chat atau grup, ada juga yang hanya mempostingnya saja di story atau di status. Berbagai macam desain kreatif bisa kita nikmati ketika kita scrolling media sosial kita.
Ucapan selamat Ramadan sebenarnya adalah doa. Semoga Ramadan tahun ini diliputi penuh dengan keberkahan. Semoga Ramadan tahun ini lebih berwarna lagi, setelah dua tahun terakhir dirundung karena pandemi.
Kita patut bersyukur, Ramadan tahun ini bayang-bayang pandemi mulai sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat diizinkan kembali untuk beribadah berjamaah, walau masih harus dengan protokol kesehatan yang ketat.
Masjid pada zona hijau dan kuning dibuka kembali, gegap gempita Ramadan kembali terasa riuh dan meriah.
Sehari sebelum Ramadan, banyak opini, resonansi, dan sudut pandang menarik ditulis dengan tema menyambut datangnya bulan suci Ramadan pada kolom media. Selain tema religi seputar puasa, tema Ramadan ditengah Pandemi masih menjadi titik temu artikel-artikel yang ditulis para kolumnis.
Namun, tema pandemi kini tidak lagi menjadi pembahasan yang mendominasi. Ada banyak juga kolumnis yang memotret fenomena sosial budaya, ekonomi, bahkan ada juga yang mengintip isu politik. Semuanya dicarikan benang merahnya dengan Ramadan.
Maklum, setiap jelang Ramadan ada banyak fenomena menarik untuk diangkat. Salah satunya adalah fenomena perbedaan penentuan awal Ramadan.
Perbedaan memang selalu menarik untuk dibahas, bukan persamaan. Meskipun pada realitanya terkadang tidak terjadi perbedaan, namun yang diangkat adalah tetap perbedaannya.