Lihat ke Halaman Asli

Mahir Martin

TERVERIFIKASI

Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

10 Malam Terakhir Ramadan, Distorsi, dan Esensi

Diperbarui: 7 Mei 2021   02:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umat Islam melaksanakan shalat tarawih berjamaah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Senin (12/4/2021). (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Tak terasa, bulan Ramadan telah memasuki sepuluh malam terakhir. Malam-malam rahmat dan maghfirah telah kita lewati. Kini kita memasuki fase akhir, malam-malam itqun minannar.

Ibarat lari marathon, fase akhir adalah fase yang sangat penting, fase di mana para pelari memaksimalkan larinya, menggunakan seluruh tenaganya untuk mencapai garis finish yang sudah di depan mata.

Begitu juga pada sepuluh malam terakhir Ramadan. Inilah waktunya kita mengencangkan ikat pinggang kita, fokus beribadah, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Distorsi 10 Malam Terakhir

Namun sayangnya, disaat kita seharusnya fokus beribadah, biasanya kita justru disibukkan dengan persiapan datangnya hari raya. Kita disibukkan dengan kegiatan mudik, membeli baju lebaran, atau bagi ibu-ibu sibuk belanja ke pasar, menyiapkan makanan dan kue lebaran.

Hal tersebut mau tak mau menguras waktu, tenaga, dan pikiran kita. Akhirnya, kita kelelahan dan kehabisan energi untuk bisa fokus beribadah.

Setiap tahun, para ustadz dan penceramah di masjid-masjid sering mengingatkan kita tentang hal ini. Ketika memasuki malam-malam akhir Ramadan, tak henti-hentinya mereka mengingatkan kita agar tidak terlena dengan kegiatan menyambut hari raya.

Namun, apa daya, nasihat tinggal nasihat, imbauan tinggal imbauan. Semua seolah menjadi formalitas belaka, masuk ke telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri kita, dan kita pun lupa untuk menjalankannya.

Sebenarnya, hari raya itu hanyalah satu hari saja. Namun, kita terkadang terlalu berlebihan untuk mempersiapkannya. Kita terjebak pada euforia perayaannya. Padahal sejatinya, di hari raya kita seharusnya mengagungkan Allah SWT dengan bertasbih, bertahmid, dan bertakbir kepada-Nya  

Ya, kita seolah kehilangan semangat Ramadan yang telah kita pupuk jauh-jauh hari sebelum bulan ini datang menghampiri kita. Benih semangat yang sejatinya sudah mulai kita tanam semenjak kita memasuki bulan Rajab, lalu kita sirami di bulan Syaban, seakan sirna begitu saja.

Kini, ketika saat-saat kita seharusnya disibukkan memanen hasil dari apa yang telah kita tanam, kita justru melupakannya. Padahal di sepuluh malam terakhir Ramadan ini, buah-buah ibadah kita seharusnya sudah mulai masak, siap untuk kita petik dan kita nikmati rasanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline