"Banjar banjir," itu judul postingan pendek di media sosial Prof Mujiburrahman, tokoh masyarakat dan akademisi asal Banjar yang kini menduduki jabatan sebagai rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin.
Pada artikel ini, frasa "Banjar banjir" saya balik menjadi "Banjir banjar." Dari segi bahasa, mungkin tak banyak perbedaan makna, yang membedakan hanya pada penekanannya. Kata di awal biasanya yang jadi titik tekannya.
Banjir Banjar
Jika kita perhatikan, frasa pertama menekankan kata Banjar sebagai daerah yang terkena banjir, sedangkan frasa kedua menekankan peristiwa banjir yang terjadi di Banjar.
Namun, dari mana pun kita menekannya, tetap saja inti pembahasannya adalah bencana banjir yang terjadi di Banjar.
Banjar adalah nama suku mayoritas yang menempati provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Kalsel adalah salah satu provinsi tertua di Kalimantan. Masyarakat Kalsel terkenal dengan sisi religiusnya. Kalsel juga terkenal dengan kekayaan alamnya, berupa hutan dan hasil tambang.
Kekayaan alam itulah yang menurut pengamat yang menjadi salah satu sebab biang keladi terjadinya banjir di Kalsel saat ini.
Bagaimana bisa? Dilansir dari laman kompas.com, Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja mengatakan, curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir jelas berdampak dan menjadi penyebab banjir secara langsung.
Kendati demikian, masifnya pembukaan lahan (untuk kebun sawit dan tambang) yang terjadi secara terus menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini.[1]
Hal ini selaras dengan isi postingan Prof Mujiburrahman yang menuliskan, ketika hutan sudah digunduli, gunung dipangkas, bumi dibongkar, dan sungai ditimbun, maka dapat dimaklumi, air meluber kemana-mana. Perubahan iklim dunia tentu juga ikut mempengaruhi kejadian ini.[2]
Hal selaras juga bisa dilihat dari sisi agama. Dalam sebuah artikel, Sridewanto Pinuji, seorang pegawai di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menuliskan, "Dengan menyadari bahwa segala musibah sudah menjadi takdir, maka suatu bencana terjadi karena faktor alam dan manusia sebagai sebab atau wasilah."[3]