"Guru yang biasa-biasa saja, memberitahu. Guru yang baik menjelaskan. Guru yang unggul mendemonstrasikan. Guru yang luar biasa menginspirasi, pastinya kalian pernah dengar kata-kata bijak ini kan?" kataku kepada para peserta webinar Academy of Future Teacher (AFT) dengan tema How to be a role model teacher yang diselenggarakan Eduversal Indonesia.
Program AFT sendiri bertujuan untuk mencetak para guru yang berkompeten, berkarakter, dan siap mendedikasikan dirinya untuk memajukan pendidikan Indonesia. Sudah tentunya untuk mencapai ini diperlukan guru yang bisa menjadi contoh, guru yang kata-katanya menginspirasi.
Guru yang Menginspirasi
Ya, kata-kata bijak milik penulis dan aktivis pendidikan William Arthur Ward itu memang tidak asing di telinga. Kata-kata bijak ini sering dikutip pada buku dan seminar tentang pendidikan.
Nilai utama dalam kata-kata bijak ini adalah inspirasi, atau biasa disebut juga ilham. Mengutip dari KBBI, definisi ilham yang paling tepat untuk menggambarkan konteks ini adalah pikiran (angan-angan) yg timbul dari hati, bisikan hati.
Jadi, jika ingin menginspirasi, dalam mengajar seorang guru harus menggunakan hati, bukan hanya menggunakan akal dan pikirannya. Inilah kata kuncinya. Menggabungkan akal dan hati.
Carol Frederick Steele dalam bukunya The inspired teacher: How to know one, grow one, or be one, menerangkan hal yang sangat menarik mengenai guru yang menginspirasi.
Carol membandingkan tingkatan guru menjadi empat, yaitu unaware, aware, capable, dan inspired. Keempat tingkatan guru itu kemudian dijelaskannnya dengan menggunakan konsep taksonomi Bloom.
Tingkatan Guru Berdasarkan Taksonomi Bloom
Taksonomi Bloom sendiri adalah taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini digunakan untuk mengukur dimensi kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam belajar. Ada 6 tingkatan pada taksonomi bloom, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Begini cara Carol menjelaskan keempat tingkatan guru.
Pertama, guru yang belum menyadari (unaware teacher) adalah guru yang belum menyadari akan perannya sebagai guru, dan juga guru yang belum menyadari pengetahuannya tentang ilmu kependidikan.