"Materi ini sulit, kalian harus banyak melakukan latihan soal!" Itu yang biasa guru katakan kepada siswa untuk memotivasi mereka belajar.
Apakah ada yang salah dari kalimat diatas? Rasanya tidak bukan? Tidak ada kata yang jelek di dalamnya, tidak ada kata menghina, mengejek, tidak ada kata yang mengandung unsur suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), maknanya pun baik-baik saja.
Namun, dalam ilmu public speaking, kalimat tersebut tidak tepat. Seharusnya kalimat itu dikatakan seperti ini: "Materi ini tidak mudah, kalian perlu banyak melakukan latihan soal!"
Terlihat tidak banyak perbedaan. Hanya ada sedikit perubahan. Yang berubah adalah kata "sulit" dan "harus" diganti dengan kata "tidak mudah" dan "perlu". Mengapa begitu? Konon katanya kata "sulit" dan "harus" dan yang sejenisnya itu memiliki nada menekan kepada seseorang.
Public Speaking, Komunikasi, dan NLP
Dalam ilmu public speaking, untuk berkomunikasi baik dengan seseorang, speaker seharusnya mementingkan apa yang dirasakan oleh lawan bicara.
Berkomunikasi itu ibarat seni. Pagelaran seni bertujuan untuk menghibur audiencenya. Seniman sukses adalah seniman yang mampu mempengaruhi audiencenya, mampu membuat audience menikmati karya seninya.
Begitu juga ketika kita berbicara, kita seharusnya bisa mempengaruhi lawan bicara, membuat lawan bicara menikmati apa yang kita bicarakan, bukan justru malah tertekan. Ketika ada tekanan, kekuatan kata untuk bisa mempengaruhi seseorang pun akan menurun.
Orang yang tertekan cenderung tidak bisa berpikir jernih. Orang yang tertekan tidak akan memahami benar perkataan lawan bicaranya. Bahkan orang yang tertekan bisa jadi antipati terhadap lawan bicaranya.
Ilmu ini saya dapatkan dari pelatihan public speaking berbasis Neuro-linguistic programming (NLP) yang saya ikuti. NLP adalah ilmu yang menggunakan pendekatan penyusunan kata-kata sehingga bisa masuk kedalam jiwa seseorang.