Lihat ke Halaman Asli

Mahir Martin

TERVERIFIKASI

Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Nasionalisme, Chauvinisme, dan Globalisasi Gotong Royong di Masa Pandemi

Diperbarui: 10 Agustus 2020   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gotong Royong.(KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ)

Hari ini tanggal 10 Agustus 2020 tepat satu minggu sebelum peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75. Suasana kemerdekaan sudah ada di mana-mana sejak awal bulan Agustus. Bendera berkibar di sepanjang jalan. Spanduk kemerdekaan di pasang. Gapura di gang-gang mulai dihias.

Hari ini saya mendapat tugas untuk menjadi pembina upacara rutin setiap hari senin di sekolah kami. Tahun pelajaran ini karena pembelajaran dilakukan secara daring, upacara pun dilakukan secara virtual, tanpa adanya pengibaran bendera.

Walaupun tanpa pengibaran bendera, upacara virtual tetap kami lakukan. Toh menurut saya, tujuan utama upacara adalah menanamkan jiwa-jiwa nasionalisme, bukan sekedar ritual penaikan sang merah putih saja.

Sebelum sang merah putih bisa dikibarkan di bumi pertiwi, sebelum kita merdeka, sebelum negara ini terbentuk, nasionalisme sudah tumbuh dahulu di sanubari rakyat. Nasionalisme yang dipegang teguh oleh para pahlawan kemerdekaan. Rasa nasionalisme inilah yang akhirnya membawa kemerdekaan negara kita.

Chauvinisme Sebagai Bentuk Nasionalisme Negatif

Secara definisi, dalam KBBI nasionalisme diartikan sebagai rasa cinta kepada bangsa dan negara sendiri. Definisi keduanya adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.

Kita harus bisa memahami dua definisi diatas secara bijak. Kita harus bisa memahami secara positif. Jangan sampai kita terjebak pada pemahaman sempit yang akhirnya justru membawa kepada paham chauvinisme.

Paham chauvinisme sendiri diambil dari nama seorang prajurit Nicolas Chauvin yang begitu fanatik terhadap pemimpinnya Napoleon Bonaparte. Begitu setianya Chauvin kepada Napoleon menyebabkan dirinya lupa kepada yang lain. Dia tidak menganggap yang lain bahkan justru merendahkan dan meremehkannya.

Jika kita perhatikan, paham chauvinisme mengarahkan kita pada nasionalisme negatif. Mengapa? Karena ada nilai-nilai negatif dari chauvinisme yang perlu kita hindari. Diantaranya adalah mengagungkan bangsa sendiri, merendahkan bangsa lain, kesetiaan ekstrim sehingga tidak memperhatikan alternatif yang lain.

Dalam sejarah dunia banyak contoh chauvinisme yang pernah eksis. Sebut saja nazi di Jerman, fasisme di Italia dan juga begitu juga paham chauvinisme yang dianut negeri sakura Jepang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline