Lihat ke Halaman Asli

Tambal Ban Keliling Mbah Pardi

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Soepardi nama aslinya. Tapi orang-orang cukup memanggilnya Mbah Pardi saja. Dan dengan nama yang sama beliau memperkenalkan dirinya kepada saya, seorang pengendara motor malang yang terjebak ditempatnya biasa mangkal siang itu. Profesi sehari-harinya adalah tukang tambal ban keliling. Terdengar familiar? Saya tidak. Dan sejauh ingatan saya, beliau memang satu-satunya tukang tambal ban keliling yang pernah saya lihat seumur-umur. Beliau biasa mengayuh sepeda onthelnya, lengkap dengan semua perlengkapan yang dibutuhkan, dari rumahnya di kawasan Tenggara Surabaya untuk berkeliling menawarkan jasa tambal ban, hingga akhirnya mangkal di tempat kami dipertemukan siang itu, di bawah sebuah pohon rindang di sebelah warung kopi yang hanya buka di malam hari, di tepi sebuah jalan protokol di Surabaya. Jam kerjanya fleksibel saja, secapainya. Kalau badan sudah lelah atau lutut sudah gemetaran, beliau akan langsung pulang, menyerahkan uang yang didapatnya kepada sang istri, berapapun rezeki yang dikantonginya hari itu.

Sungguh, mendengar jobdesc-nya saja langsung terbayang betapa berat pekerjaan ini, terlebih untuk orang seusianya. Mbah Pardi memang tidak menyebutkan berapa usia pastinya, atau lebih tepatnya ia tidak tahu tanggal atau bahkan tahun ia dilahirkan, khas orang tua jaman dulu. Tapi dari cerita beliau yang turut mengangkat senjata dalam pertempuran 10 November, saya yakin Mbah Pardi ini usianya pasti telah lewat 70 tahun. Ia menjadi tukang tambal ban sendiri sejak pertengahan '60-an, setelah pabrik tempatnya bekerja sebelumnya kolaps. Luar biasa. Jadi kalau memakai hitung-hitungan kasar saja, sudah hampir 50 tahun ia menjadi tukang tambal ban. Selama kurun waktu itulah ia menggantungkan hidup dari menambal ban. Dan hanya inilah, sepertinya, dunia yang ia tahu, dunia per-tambal ban-an. Mbah Pardi ini pasti sudah mahir sekali segala macam ilmu menambal ban, mulai dari kebocoran tingkat satu sampai dengan kerusakan ban tingkat akut pasti bisa ia atasi. Kalau saja ia seorang dokter atau akuntan, mestinya sebentar lagi ia sudah akan mendapat tanda bintang jasa dari semacam asosiasi profesi tambal ban atas pengabdian setengah abadnya itu. Tapi, ah sudahlah. Tak akan ada silver anniversary atau semacamnya bagi beliau. Baginya, yang ada hanyalah hari penuh rutinitas lain demi menyambung hidup.

Sempat saya bertanya, mengapa tidak mangkal di satu tempat saja mbah, seperti tukang tambal ban yang lain? begitu kan mbah bisa bekerja dengan lebih santai, lebih hemat tenaga, tanya saya. Sambil tersenyum, si mbah bercerita. Ternyata dulunya si mbah ini sempat menjadi tukang tambal ban yang normal juga, mangkal di satu tempat, membikin semacam kios kecil untuk praktik tambal ban, tapi kemudian kena gusur. Pindah ke lokasi lain, buka kios kecil baru, lalu digusur lagi. Begitu seterusnya hingga suatu ketika Mbah Pardi memutuskan untuk begini saja, menjadi tukang tambal ban keliling. Yah, paling nggak kalo digusur lagi saya tinggal ngonthel sepeda nyari tempat mangkal baru sajalah nak, begitu kira-kira jawab beliau separuh berkelakar, barangkali.

Aslinya, Mbah Pardi ini berasal dari Ngawi. Beliau ikut orangtuanya boyongan ke Surabaya saat masih berusia 3 tahun. Dan di kota inilah beliau berada saat A.W.S Mallaby terbunuh, sesaat setelah tersebarnya berita tentang kemerdekaan negerinya. Peristiwa yang sama menyebabkan NICA marah dan mengultimatum Surabaya dengan 2 pilihan jelas : serahkan semua persenjataan atau perang terbuka. Bagai digerakkan oleh semacam euforia liberte kolosal, ia bersama arek-arek Suroboyo yang lainnya mengambil keputusan dengan mantap : pertahankan kedaulatan sampai titik darah penghabisan! Akhirnya beliau pun bergabung dengan anggota barisan pelajar lain untuk bersiap mengangkat senjata lawan kompeni. Persenjataannya mereka pun sederhana saja. Apapun bisa dipakai, bahkan pagar kayu rumah diruncingkan pun bisa dibawa berangkat. Betul-betul bonek, bondo lan nekat.

Mbah Pardi berujar, saat itu ia masih berusia kurang lebih sekitar 12 tahun, meskpun ia tidak ingat secara pasti. 12 tahun. Saya sendiri lupa apa saja pencapaian yang telah saya buat dalam usia ini. Tapi beliau bersama arek-arek Suroboyo yang lainnya telah bersedia menyabung nyawa demi kelangsungan sebuah "so-called negeri" yang bahkan belum genap berusia 4 bulan bernama Indonesia ini. Walaupun kemungkinan tidak ditempatkan tepat behind the enemy line mungkin -mengingat usianya yang masih begitu muda- tapi sungguh, keberanian dan kerelaan berkorbannya terdengar begitu lux dan noble dalam kondisi kekinian kita sekarang ini...

Sampai saat ini, Mbah Pardi masih belum menyandang gelar pahlawan apapun, bahkan sekedar keanggotaan LVRI atau titel purnawirawan sekalipun tidak, walau sebenarnya ia bisa mengusahakan untuk memerolehnya. Saat ditanya mengapa ia tidak mengurus administrasinya. Mbah Pardi hanya mengatakan bahwa pengakuan tidak penting, toh itu juga tidak akan berdampak apapun dalam hidupnya. Mungkin pengakuan itu akan memberinya beberapa rupiah, sekedar santunan bulanan rutin yang lazim diberikan kepada para purnawirawan negeri ini. Tapi mendapatkannya pun Mbah Pardi tak mau, karena ia berprinsip selama ia bisa menghidupi keluarganya lewat keringat sendiri, ia tidak mau menyusahkan negaranya untuk membiayai beban hidupnya dan orang-orang sebayanya. Sungguh, beliau seolah memberikan sebuah dimensi yang baru tentang sebuah rasa nasionalisme yang tulus bagi saya siang itu...

Entah berapa banyak Mbah Pardi-Mbah Pardi lain yang masih hidup di luar sana. Mengutip kata-kata Amien Rais, mereka bagaikan orang-orang yang ketinggalan kereta yang mereka dorong. Merekalah Mereka bisa berprofesi sebagai apapun. Penjaga parkir, penjual minyak keliling, pengasong rokok, sekedar menjadi penghuni pantai jompo, apapun. Bahkan melihat seorang lanjut usia yang tidur pulas di bangku halte stasiun pun cukup membuat saya membayangkan masa lalu seperti apa yang pernah mereka lalui

Sepertinya memang benar ucapan si Bonaga, terlalu banyak orang kurang beruntung di negeri ini. Sepertinya memang benar ungkapan, a true hero never really appears at one.Bagi orang-orang seperti mereka ini, tindakan heroik macam itu hanyalah salah satu babak dalam kehidupan.Setelah semua selesai, that's all. Tak perlu ada perayaan, tak perlu ada selebrasi berlebihan, karena saat semua perjuangan itu selesai, itulah saat bagi untuk melanjutkan hidup. Aahhh, entah bagaimana perasaan Mbah Pardi dan teman-teman sejawatnya melihat para penerusnya melanjutkan pembangunan di negeri ini. Penguasa yang lalim, birokrat-birokrat korup, para pemuda bermental tempe, sebut sajalah. Sepertinya mereka kecewa melihat cara kita menjalankan negeri ini. MESTINYA mereka kecewa. Tapi memang, harapan itu akan selalu ada. Tidak ada kata terlambat untuk berbenah. Better late than never, isn't it? Untuk sekarang, tak perlulah bermimpi memerangi kompeni dan semacamnya, toh itu sudah tidak lagi relevan untuk kita. Cukuplah dengan berkontribusi dengan apa yang kita punya. Meminjam wejangan dari Aa' Gym, marilah mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulailah dari sekarang..:)

Depok, Mei 2010

-k28-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline