Perkembangan teknologi perlahan-lahan mulai mengiskis karakter santri. Barangkali pendapat kita boleh berbeda. Tetapi faktanya, saya sering menjumpai kasus ini. Bahwa sekarang, sebagian santri hampir tidak punya rasa hormat atau ta'dzim sedikit pun kepada kiai.
Pernah suatu ketika, saya sedang mengikuti majelis di sebuah pesantren di Ngaliyan, Semarang. Dalam rutinitas setelah salat isya itu, terdapat kejanggalan dalam benak saya. Saat kiai menyampaikan materi hadis Arba'in Nawawi, sebagian santri terlihat sibuk dengan smartphone-nya. Ada yang sedang asyik chatiing-an, melihat-lihat postingan di media sosial, dan ada pula yang bermain Mobile Legend.
"An enemy has been slain," suara itu terdengar keras di tengah-tengah majelis. Setelah mendengar suara itu, sang kiai batuk berdeham, bermaksud mengingatkan santri agar fokus kepada materi yang sedang dipelajari. Tetapi, seolah tidak punya rasa bersalah, para santri tetap sibuk dengan smartphone-nya dan acuh terhadap kiai.
Jujur saja, saya merasa iba dengan keadaan itu. Saya tidak tahu bagaimana perasaan sang kiai setelah diabaikan oleh santrinya. Dan hal yang perlu ditanyakan, dimana sikap ta'dzim yang pada dasarnya harus dimiliki para santri?
Dari kisah tadi, saya merasa bahwa karakter santri sekarang berbeda dengan santri dahulu. Santri zaman sekarang hampir tidak memiliki tradisi yang diciptakan oleh santri dahulu. Penghormatan kepada kiai sudah hilang. Saat majelis, lebih fokus dengan smartphone daripada materi yang disampaikan.
Terciptanya Dunia Baru
Perubahan karakter itu tentu ada penyebabnya. Barangkali kita boleh menganggap bahwa internet adalah penyeb semua ini. Jika tidak bisa melakukan kontrol, santri akan ketergantungan dan sulit melepaskan diri dari belenggu kemajuan teknologi.
Seperti halnya dengan salah satu teman kampus saya. Smartphone selalu berada di genggaman tangannya. Dia selalu sibuk dengan benda itu. Entah dia menggunakan WhatsApp, Youtube, Instagram, Facebook, atau pun bermain game online.
Perkembangan teknologi begitu kejam. Semua lini bisa mengikuti derasnya arus globalisasi, begitu halnya dengan santri. Ruang dan waktu tidak lagi menjadi kendala dalam bertukar informasi. Selain itu, akses terhadap konten internet juga tidak bisa dihindarkan.
Peter Drucker, seorang profesor di bidang filsafat dan politik asal Austria, menilai globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. Konsep ruang dan waktu berjalan tanpa ada sekat. Proses interaksi nyata antarmanusia terhadang oleh tembok internet. Hal ini menyebabkan hubungan santri dan kiai menjadi renggang.
Saya sendiri menyadari bahwa peradaban baru telah menciptakan dunia baru. Revolusi digital mendorong santri terjebak dalam arus globalisasi. Sudah banyak santri yang memiliki smartphone dan menggunakannya untuk mengakses internet. Dunis maya yang penuh dengan fantasi dan imajinasi ini bisa menarik kehidupan santri. Hingga akhirnya santri akan terus bermain internet tanpa peduli dengan keadaan sekitar.