Lihat ke Halaman Asli

Mahfudh Harun

Suka menulis dan senang berbagi

Bahasa Santun Dituturkan, Bukan Disimpan sebagai Warisan Budaya

Diperbarui: 10 Maret 2016   08:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: id.wikihow.com"][/caption]Bahasa menunjukkan bangsa. Dan dengan bahasa pula menunjukkan kualitas pribadi seseorang. Karenanya, penggunaan bahasa yang tepat, baik menulis maupun berbicara sangatlah perlu diperhatikan.  Jika tidak, maka akan berdampak pada banyak hal, seperti konflik, rusaknya pergaulan, menjadi tidak dihormati atau menghormati, salah pemahaman, sampai kepada destruksi budaya yang telah ada di tengah-tengah bangsa itu sendiri.

Dalam bahasa lisan atau penuturan khususnya, sering sekali kita menemukan berbagai kata ganti untuk pembicara, orang yang dibicarakan, dan lawan bicara yang berkategori sopan dan tidak sopan. Misalnya saja kata "saya," coba anda perhatikan berapa banyak kata lain yang menunjukkan sama artinya dengan kata "saya" yang sering diucapkan oleh banyak orang, baik tua maupun muda, dalam kehidupan pergaulan sehari-hari. 

Adakah anda temukan berapa banyak yang berkategori tidak sopan? Kurang sopan? Kasar? Atau anda sudah menganggapnya itu sopan karena lupa kepada budaya bahasa sendiri yang sejak dulu sangat dihormati dan dihargai?

Memang "lain lubuk, lain ikannya" atau "lain padang, lain belalang." Maksudnya lain daerah lain juga budaya berbicara khususnya. Tetapi, setiap daerah yang jelas memiliki budaya berkomunikasi atau berbicara yang sopan tersendiri. Tidak ada orang-orang yang masih memiliki akal dan pikiran yang sehat, tidak menghendaki cara-cara yang santun. Kecuali keadaan jiwa seseorang sedang terganggu, seperti marah, atau buta etika bahasa, maka bisa jadi tanpa sadar menjadikan sesuatu yang tidak sopan sebagai bagian yang mereka anggap biasa dan biasa saja.

Jika kita perhatikan secara cermat di sekeliling kita, maka akan dengan mudah kita dapatkan gaya penuturan yang jauh keluar dari etika berbahasa yang baik, sopan, dan santun. Tidak hanya anak-anak, tapi orang dewasa juga sering campur aduk antara yang santun dan tidak sopan santun.

Dalam bahasa Aceh misalnya, kata "kah" (kamu-Indonesia). Kata ganti orang kedua  (lawan bicara) "kah"sudah tidak asing dalam pergaulan muda-mudi, bahkan tua-muda. Padahal kata "kah", jika digali dalam akar bahasa Aceh, menunjukkan suatu ucapan kasar. Penyebutan kata ganti itu kepada orang-orang tertentu, apalagi baru kita kenal, akan merasa tersinggung sekali karena merasa tidak dihormati.

Oleh karena itu, agar kedengarannya lebih sopan dan orang dihadapan kita merasa dihargai, maka kata "kah" diganti dengan kata "gata." Kata "gata" (agak sopan) untuk menyebut orang yang lebih muda atau sebaya dengan si pembicara. Atau bisa juga dengan "droeneuh" (sopan). Biasanya kata "droeneuh" dipakai pada saat berbicara dengan orang lebih tua dari kita, misalnya saat anak berbicara dengan orang tuanya atau adik dengan kakaknya. Seperti dalam kalimat, "Droeneuh hoe meujak, Bang?" (kamu mau pergi kemana, Abang?). Ini contoh penuturan yang baik dan sopan.

Secara budaya bahwa menggunakan bahasa yang sopan agar orang yang lebih muda menunjukkan rasa hormat kepada yang lebih tua. Sebaliknya, orang yang lebih tua menunjukkan kasih sayangnya atau tenggang rasa terhadap yang muda. Sehingga menjadi sesuatu yang lebih indah dan damai rasanya dalam pergaulan khususnya dan aspek kehidupan.lainnya. Sekaligus membiasakan diri dengan budaya yang baik yang ditinggalkan oleh pendahulu atau nenek moyang kita.

Makanya berbahasa yang sopan santun ini sangat penting. Seperti diungkap oleh W.E. Norris, supaya bibir kita tidak terpeleset, lima hal mesti kita perhatikan dengan baik ; kepada siapa kita berbicara, siapa yang kita bicarakan, bagaimana, kapan, dan dimana kita berbicara. Dan senada dengan itu, kita juga masih ingat dengan pribahasa, "Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." 

Demikian semoga kita menjadi pewaris budaya bangsa yang selalu menjaga, merawat dan mengambil kebaikan-kebaikan dari budaya itu sendiri. Bukanlah orang-orang yang menjadikan budaya hanya untuk disimpan dalam situs budaya, lalu hanya membuat orang lain takjub tatkala mengunjungi dan mengetahuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline