Lihat ke Halaman Asli

Melalui Agus, "Gurita Cikeas" Akan Dibangkitkan Lagi

Diperbarui: 19 November 2016   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Resensi66.wordpress.com

Istilah “Gurita Cikeas”, membawa ingatan kita pada sebuah peristiwa penting sekira tahun 2009, yaitu terbitnya sebuah buku kontroversial berjudul “Membongkar Gurita Cikeas Di Balik Skandal Bank Century” karangan Dr. George Junus Aditjondro. Namun, hanya berselang tiga hari setelah peluncurannya, buku tersebut menghilang dari pasaran. Diduga karena ada tekanan dan tindakan represif dari penguasa ketika itu yang sedang menikmati tahun politik, kontestasi Pilpres 2009. Dengan berbagai alasan, buku itu kemudian dikebumikan. Beruntung sekali orang-orang yang dapat membelinya, ketika itu; seperti mendapatkan durian runtuh, meski saat ini, kita bisa mencarinya lagi di internet atas “kebaikan” mereka yang telah membeli terlebih dulu, lalu di scanning, selanjutnya diupload di dunia maya.

Pasca terbitnya buku itu, istilah Gurita Cikeas menjadi viral. Dibicarakan mulai dari kalangan elit, akademisi, bahkan orang biasa yang nongkrong di warung-warung Kopi. Intinya satu; SBY melakukan banyak tindakan kecurangan tersembunyi, diduga terlipat dalam beberapa kasus besar negeri untuk melanggengkan kekuasaannya. Ibarat gurita, tangan-tangannya mencengkeram ke segala sisi untuk memuaskan hasrat politiknya. Buku itu secara gamblang dan terang-terangan telah “menelanjangi” pihak Cikeas, terutama SBY sebagai pemegang kendali dan tentu saja Partai Demokrat. Banyak data, fakta, dokumentasi, referensi, dan analisa yang membuat publik tercengang, dan mulai berpikir, bahwa “Katakan Tidak Pada Korupsi” hanyalah tagline basi. Gurita [Korupsi] Cikeas tepatnya.

Pihak istana, ketika itu, hanya menanggapi buku tersebut dengan cara normatif, lalu dengan caranya yang khas, Presiden “Prihatin” dan Presiden “Ikut Sedih” itu memosisikan diri sebagai korban fitnahan, sebagaimana biasanya. Itu sudah khasnya. Karena tidak berani melawan tantangan untuk mengcounternya dengan buku juga jika berani, maka sah-sah saja kalau kita patut curiga dan menduga, itu adalah fakta-fakta yang sulit untuk tidak diamini.

Lama tidak terdengar istilahnya, kita mulai mengamini, bahwa “Gurita Cikeas” itu benar-benar ada. Berlangsung selama pemerintahan SBY. Banyak berita, laporan, pengakuan, kesaksian, dan analisa yang bisa kita nikmati dimana-mana, tinggal klik saja. Sepertinya, kebenaran akan menemukan jalannya untuk muncul ke permukaan. Dan sekarang, kita diingatkan kembali pada istilah itu:

Ini bermula sejak SBY tidak lagi menjabat presiden. Sedikit demi sedikit “dosa” yang ditutupi selama pemerintahannya mulai mencuat ke permukaan. Diperkuat dengan dugaan permainan liciknya di pilkada DKI Jakarta untuk memenangkan Agus Harimurti Yudhoyono. Statement SBY sebelum aksi 4 November, semakin menguatkan dugaan tersebut. Terutama ketika beberapa fakta memang mengarah ke arah Cikeas sebagai aktor politik yang menunggangi aksi menghukum Ahok, sekaligus menguatkan dugaan adanya makar untuk menurunkan Jokowi melalui pengadilan jalanan.

Kita berpikir, mungkin ini agak aneh. Kenapa? Karena SBY sepertinya tidak sadar kalau dirinya bukan lagi presiden yang bisa mengontrol segala hal. Loyalisnya tentu masih banyak, tapi SBY harusnya mulai berpikir, bahwa di atas langit masih ada langit. Kalau dulu ia melihat ke bawah untuk memantau, sekarang ia terpaksa harus mendongak ke atas, seperti rakyat kebanyakan. Ini bukan saja soal post power sindrome, tapi mungkin sindrom keinginan untuk selalu [merasa] berkuasa. Mentalnya barangkali belum terlalu kuat untuk menerima kenyataan, bahwa semuanya tidak bisa ia kendalikan lagi. Ini pula yang barangkali menjadi alasan kenapa Demokrat akhir-akhir ini lebih nampak sebagai partai tanpa jenis kelamin. Memosisikan di tengah, agar dianggap netral, tapi sebenarnya ingin menusuk dari belakang, jika ada kesempatan yang menguntungkan.

Mestinya, SBY harus hati-hati dengan Gurita Cikeasnya yang kini banyak terekspos. Dulu, sebagai presiden, ia berhasil meniarapkan segala isu yang merugikan dirinya. Pemerintahan yang sebenarnya dipenuhi kongkalikong berbau koruptif yang sistematis. SBY dan Demokrat diduga ikut menikmati skandal Bank Century yang kasusnya sekarang entah kemana. SBY, bahkan diduga sebagai presiden yang tidak sah, ilegal, atas hilangnya arsip BPK yang dipandang MK hanya sebagai tindakan kesalahan prosedur. Arsip itulah yang menyelematkan banyak invisible hand dari kasus Hambalang dan Century. Terlebih lagi, IT KPU saat itu sedang getol ingin diungkap oleh Antasari.

Pada masa pemerintahannya, banyak orang-orang penting di Demokrat yang akhirnya menghuni hotel prodeo. Sayangnya, itu hanya menyentuh “level bawah” tanpa sekalipun menyentuh “pucuknya”. Kontras dengan slogan yang selama ini digembar-gemborkan sebagai partai anti korupsi. Bahkan Ibas, anaknya, juga ikut tersangkut. Namanya mulai disebut, tidak hanya pada kasus Hambalang, tapi juga pada kasus SKK Migas dan beberapa kasus lain yang menggiurkan. Aroma kolusi dan nepotisme juga mulai mencuat ketika dalam banyak kasus, sering kali terdapat orang-orang yang berada dalam inner circle SBY.

Melihat kenyataan itu, harusnya SBY berada dalam bahaya, setidaknya jika melihat dari beberapa hal. Pertama, banyaknya berita di media yang sedang menjadikannya sebagai titik perhatian dari beberapa kasus korupsi yang pernah terjadi. Kedua, ini yang penting, ada dan tidaknya good will pemerintah melalui jalan konstitusional untuk kembali memeriksa kasus korupsi yang mangkrak, bahkan ditutup. Kalau dua hal itu bisa berjalan selaras, bukan tidak mungkin SBY akan menjadi mantan presiden pertama yang akan dipenjara. Ini akan menjadi sejarah paling agung dalam proses perjalanan bangsa ini.

Untuk itulah, dengan cara-cara politiknya yang “lempar bom sembunyi tangan”, SBY mati-matian menggunakan segenap kemampuannya untuk memenangkan Agus dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta kali ini. Cara-cara norak, yang banyak kalangan akhirnya bisa mencium gelagat mencurigakannya. Kekuatan finansial mulai dikerahkan, bahkan sejatinya kantong Cikeas sangat mampu untuk membeli seluruh suara rakyat Jakarta. Kekayaannya memang hanya milyaran, yang diketahui. Tapi yang tidak diketahui, dari rumor yang beredar, justru sudah triliunan. Kemampuan lobi dengan para loyalisnya mulai dimanfaatkan.

Orang-orang yang berseberangan dengan calon lainnya, diajak untuk bergabung untuk memperkuat barisan. Habib Riziq dan Haji Lulung menjadi keuntungan besar. Satu yang menjadi kuncinya, ia dekat dengan kalangan ulama’ Islam yang selama pemerintahannya dirangkul dan diopeni. Banyak orang lupa, SBY adalah mantan jenderal strategi perang. Ia kenyang pengalaman untuk sekedar meracik strategi memenangkan peperangan. Buktinya? Jokowi pun dibuat linglung dan lunglai. Safari kemana-mana seperti kucing kepanasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline