Perempuan-perempuan itu menangis dalam diam. Mimpi untuk mendapatkan suami yang rupawan, kaya, dan penyayang tenggelam dalam sempitnya sebuah flat yang mereka huni. Ruangan yang juga mengaburkan status mereka: wife-cum-maid-cum-caregiver!
Saya masih mengutuk betapa bride agency masih diijinkan beroperasi. Masih mengutuk mengapa match-making masih berlaku di era demokrasi pernikahan! Herannya lagi, ini bukan antara orang tua kedua belah pihak. Tapi agency – orang asing yang nantinya tak akan bertanggung jawab bila terjadi gagal kawin!
Ini bukan cinta. Namun, sebut saja: woman trafficking. Perempuan-perempuan itu, seperti barang komoditas, disalurkan, dijual dan dipromosikan kepada lelaki yang membutuhkan istri. Membutuhkan kehangatan birahi! Benarkah ini cuma soal birahi? Atau materi? Atau keduanya?
Perempuan dari Vietnam, Thailand, Indonesia dan beberapa negara berkembang lain yang dengan gamblang menyatakan mencari suami sebagai penyokong hidup tak ubahnya memerangkapkan diri di kandang buaya. Tapi mereka tak menyadari itu. Mereka hanya berpikir memperoleh lelaki yang menyayanginya dan mau memenuhi kebutuhannya. Di Singapura sendiri, foreign brides masih menjadi fenomena biasa. Meski beberapa tahun terakhir jumlahnya berkurang karena persaingan dan peraturan pemerintah yang diperketat. Permasalahan konkrit yang sering mencuat semacam penganiayaan dan pencampakan menjadi pertimbangan sendiri bagi pemerintah negara setempat. Kalau dulu, laki-laki melakukan trip ke negara calon mempelai wanita, melakukan proses pernikaan di sana dan membawa pengantin pulang ke negaranya, sekarang wanitanya justru yang datang ke negara calon mempelai laki-laki untuk mencari pasangan lewat match-making!
Merried froud
Di Canada, menikah merupakan cara yang terbaik untuk mendapatkan status kewarganegaraan untuk selanjutnya, bisa menggunakan status itu untuk mencari pekerjaan di negara tersebut. Kasus ini lebih condong kepada penipuan. Bukan alasan cinta dan keinginan untuk hidup bersama. dalam sebuah film dokumenter, seorang Canadian pernah mengaku menghabiskan puluhan ribu dollar untuk menikahi perempuan dari negara lain. namun setelah menikah dan mendapatkan status permanen resident, perempuan meminta cerai dan menuntut share dari harta lelaki tersebut.
Seperti halnya di Singapura. Banyak perempuan dari match-making agency yang tak bisa dipercaya. Kasus nyata, seperti yang termuat dalam The New Paper (2010) adalah seorang warga Singapura, Mr. Quek (39) yang menikahi Kim (21) dari Vietnam. Dia membayar SD 7000 untuk melengkapi seluruh persyaratan pernikahan itu. Namun dia kecewa setelah mengetahuinya telah menikah di negaranya dan suami yang ditinggalkan menuntut. Kim dikembalikan ke agency dalam keadaan hamil muda.
Hal itu seperti mengisyaratkan untuk tidak percaya dengan mudah pada foreign brides. Keadaan sekarang telah berbeda, meski banyak perempuan menjadi korban ketidakadilan dalam pernikahan itu, namun beberapa diantaranya bertindak sebagai penipu. wanita-wanita materialistik yang hanya mengedepankan sisi materi di atas hati nurani hingga, melakukan cara yang keji sebagai peraih mimpi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H