Lihat ke Halaman Asli

Inkonsistensi Saya atas Kehamakuasaan Mutlak Tuhan

Diperbarui: 16 Januari 2017   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Saat ketemu kakek, saya bertanya tentang bagaimana sebenarnya gambaran tentang Tuhan.  Jawabnya singkat, tan kinaya ngapa (tidak bisa digambarkan atau dijelaskan).  Pernah saya bertemu seorang bhiku dan bertanya, "Menurut Bhiku, bagaimana konsep tentang Tuhan?"  Jawabnya juga singkat, "Tuhan tidak bisa dikonsep, dan yang bisa dikonsep berarti bukan Tuhan."  Dan masih banyak orang yang saya tanyai dengan jawaban serupa.  Akhirnya saya pun mencoba menyimpulkan sendiri bahwa manusia tak mampu menggambarkan ataupun mendefinisikan Tuhan.  Yang saya tahu dan saya yakini,

 Tuhan itu maha kuasa, suatu bentuk keyakinan yang diyakini oleh hampir semua orang bertuhan.  Saya sendiri tidak yakin pada diri saya apakah keyakinan saya tentang Tuhan itu hasil dari pengalaman spiritual saya sendiri ataukah saya sekadar ikut-ikutan meyakini apa yang diyakini oleh kebanyakan orang bertuhan.  Yang jelas saya yakin Tuhan itu maha kuasa untuk apapun, baik untuk apa saja yang bisa dinalar manusia maupun untuk apa saja yang tidak bisa dinalar manusia.  Ringkasnya, kemahakuasaan Tuhan tidak bisa dibatasi oleh apapun, termasuk oleh hukum, aturan, tatanan dan entah apa lagi yang bisa membatasi selain Tuhan.

Hanya saja terkadang saya tidak konsisten dengan keyakinan saya tadi.  Berikut ini saya sampaikan hal-hal yang sering membuat saya tidak konsisten dengan keyakinan saya akan kemahakuasaan Tuhan.

Saya seringkali tidak bisa menerima (membenci, kesal, menyalahkan, dan terkadang geram) hal-hal yang oleh kebanyakan orang dianggap tidak baik.  Sebut saja tindak kejahatan yang merugikan orang lain atau merusak lingkungan sekitar (misalnya perampokan dan penggunaan racun untuk mencari ikan di sungai).  Sikap tidak bisa menerima hal-hal yang demikian sebenarnya manusiawi dan lumrah.  Mungkin tidak hanya saya sendiri yang bersikap demikian.  Tetapi mestinya saya tidak harus bersikap begitu, toh hal-hal yang begitu terjadi juga sudah atas kehendak dan izin dari Yang Maha Kuasa.  Logikanya begini. 

 Kalau ada orang yang bisa melakukan sesuatu (misalnya, merampok dan meracuni sungai) atas kekuatan dan kekuasaan mereka sendiri tanpa izin Yang Maha Kuasa berarti Kemahakuasan Mutlak Tuhan dilampuai.  Dengan demikian kuasa Yang Maha Kuasa tidak mutlak lagi karena ada kuasa atau kekuatan lain yang bisa berjalan sendiri di luar izin-Nya.  Mestinya saya tidak perlu menyalahkan, kesal dan geram atas apa yang terjadi toh semuanya sudah atas kehendak dan izin Yang Maha Kuasa.  Kalau saya geram berarti saya sudah tidak konsisten lagi dengan keyakinan saya.

Saya juga sering tidak bisa menerima apa yang terjadi dalam kehidupan saya, terutama atas hal-hal yang terjadi di luar perhitungan saya.  Saya pernah mencoba beternak lele yang menurut perhitungan saya (atas dasar sejumlah pengalaman dari teman-teman peternak lele) seharusnya untung.  Tetapi yang terjadi tidak demikian.  Selalu merugi.  

Sulit bagi saya untuk menerima kenyataan bahwa lele-lele saya tidak bisa gemuk, banyak yang mati padahal saya sudah memperlakukannya sesuai ilmu beternak lele yang seharusnya.  Sikap tidak bisa menerima kenyataan ini benar-benar terjadi pada diri saya.  Dan berarti saya tidak konsisten lagi.  Kalau dinalar atas dasar kemahakuasaan mutlak Yang Maha Kuasa, logikanya sederhana saja.  Manusia jelas hanya bisa merencanakan, memperhitungkan suatu usaha (itupun atas izin-Nya).  Sedangkan apa hasilnya jelas mutlak dalam kuasa Yang Maha Kuasa.  Kalau kita bisa mewujudkan segala sesuatu atas dasar perhitungan, perencanaan dan usaha kita maka lahi-lagi kuasa Yang Maha Kuasa tidak mutlak lagi.

Akhirnya saya membuat sebuah analogi sederhana bahwa kehidupan manusia di dunia ini mirip dengan film.  Kita semua adalah aktor dalam film tersebut, yang memainkan peran masing-masing sesuai dengan skenario dari Sang Maha Sutradara.  Ada yang berperan sebagai superstar, ada pula yang berperan sebagai peran pembantu atau semacamnya.  Dengan demikian, saya pun tidak perlu pusing dengan inkonsistensi saya karena sangat mungkin inkonsistensi tersebut memang sudah ada dalam skenario-Nya sehingga harus saya lakukan demikian.  Namun, saya akan berusaha (atas izin-Nya) untuk belajar konsisten, dengan harapan bisa meminimalisir rasa geram atas apa yang terjadi di luar diri saya, dan bisa bersyukur atas apa yang terjadi pada diri saya.  Konon, kedua hal ini menjadi dasar utama untuk mendapatkan rasa damai dalam hidup ini.  Entahlah....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline