Lihat ke Halaman Asli

Suara Sumbang Mahasiswa Dipasung JMMPK

Diperbarui: 23 Maret 2017   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak masa perjuangan kemerdekaan, mahasiswa mengambil salah satu peran penting sebagai kaum terpelajar sehingga mengantarkan Indonesia menuju gerbang kemerdekaan. Pun demikian masa setelah kemerdekaan, mahasiswa menempatkan dirinya sebagai elemen masyarakat yang mengontrol pemerintah dengan kecendekiaannya dan pola kritis yang menjadi girahnya. Tentu kita masih ingat reformasi 1998, bagaimana mahasiswa menggerakkan dan menjadi belenggu bagi pemerintahaan saat itu yang dirasa sudah tidak berada dalam jalan yang benar.

Namun pasca reformasi, peran mahasiswa seolah hilang. Jikapun ada sebatas mengada-ada, bergerak tidak lagi pada jalan semestinya. Dua hal tadi, yakni kecendekiaannya dan sikap kritis, telah terpisah dari semangat memperjuangkan kebenaran. Mungkin ini persoalan hedonisme yang menjadi tembok yang membutakan mahasiswa. Maka tak heran, jika saat ini sikap mahasiswa dalam menilai dan berpihak atas permasalahan bangsa, kerap keliru. Mereka tak mampu lagi menentukkan jalan mana yang mesti diambil. Acap kali, salah melangkah dan terburu-buru tanpa melihat fakta dan kebenaran. Menganggap semua hal yang identik dengan baju kemiskinan, marjinalisme, petani, adalah suatu hal besar yang mesti dibela. Padahal, dalam orde saat ini, siapapun bisa menampilkan wajah-wajah itu untuk meng-goal-kan tujuan. Hilir mudiknya modal asing membuat orang dan sekelompok orang bebas memperalat nama-nama kemiskinan dan petani sebagai ujung tombak menekan pemerintah. Demi apa? Bisnis!

Mungkin ini yang disebut Soekarno, tugas perjuangan kaum-kaum pasca kemerdekaan lebih berat karena melawan bangsa sendiri (yang disusupi asing), sehingga tidak nampak mana kawan mana lawan. Semua seolah berbaju sama, merah dan putih.

Aksi demonstrasi ‘Dipasung Semen 2’ yang dilakukan Joko Prianto dan Gunretno, penggerak Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), dengan membawa nama warga Rembang, rupanya mampu juga mengelabui kaum mahacendekia (baca mahasiswa). Kebiadaban Joko Prianto yang mengecor kaki 10+1 orang (3 perempuan) menggunakan adukan semen ‘Indocement’, lebih membuat hati para mahasiswa terenyuh dibandingkan ada apa dibalik itu? Alur proses perizinan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMI) di Kabupaten Rembang yang ditolak oleh JMPPK, tidak mampu dikuasasi oleh mahasiswa. Mereka melupakan fakta-fakta, bahwa Joko Prianto memalsukan nama dan tanda tangan dari daftar 2.501 penolak semen, mahasiswa tuli bahwa sejak 1994 sudah ada puluhan tambang ilegal di Rembang tanpa komitmen perbaikan lingkungan dan peningkatan ekonomi warga, mahasiswa buta bahwa Walhi, ‘pejuang lingkungan’ yang ikut menggugat, nyatanya tak berani beradu argumen tentang kajian ilmiah soal fakta-fakta lapangan di sekitar area tambang SMI, dalam forum resmi sidang Komisi Penilai Amdal.Maka, jika mahasiswa tak mampu pintar (lagi) dalam berjuang, sudah duduk saja di depan layar powerpoint. Dengarkan kuliah dosen, pikirkan saja cara memperbesar angka IPK-mu agar kau lulus tepat waktu, sehingga bisa kerja dengan gaji suka-suka agar orangtuamu bangga. Tak perlu ikut bersuara, jika nyatanya suaramu sumbang dipasung JMPPK depan Istana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline