Lihat ke Halaman Asli

Kasus PT Tamasia Global Sharia: Implikasi Perubahan Model Bisnis dalam Investasi Emas

Diperbarui: 29 September 2024   18:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Maheradea Kusuma Wardhani

NIM : 222111240

Kelas : 5F HES

Kasus

Kasus PT. Tamasia Global Sharia menjadi perhatian publik sejak awal tahun 2023 karena perubahan mendasar dalam model bisnisnya. Perusahaan yang awalnya menawarkan investasi emas digital beralih ke sistem jual-beli emas fisik tanpa memberikan kejelasan dan transparansi kepada nasabah. Perubahan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan nasabah, yang terpaksa menjual emas di bawah harga pasar. Situasi ini memunculkan pertanyaan mengenai kepatuhan perusahaan terhadap prinsip-prinsip syariah dan regulasi yang berlaku. Analisis ini akan membahas kaidah-kaidah hukum, norma-norma, dan aturan-aturan yang relevan, serta perspektif dari aliran positivisme hukum dan sociological jurisprudence terkait implikasi kasus ini terhadap investasi berbasis syariah.

Kaidah Hukum

Dalam konteks hukum ekonomi syariah, kasus ini melibatkan beberapa kaidah hukum yang relevan. Pertama, terdapat kaidah amanah yang mewajibkan perusahaan untuk menjaga kepercayaan nasabah dengan cara yang transparan dan adil. PT Tamasia dianggap melanggar kaidah ini, terutama karena melakukan perubahan tanpa persetujuan nasabah dan tidak memberikan informasi yang cukup mengenai dampak dari perubahan tersebut. Kedua, kaidah larangan gharar (ketidakpastian) yang muncul akibat perubahan mendadak ini menciptakan risiko bagi nasabah yang tidak memiliki kepastian mengenai status kepemilikan emas digital mereka, hal ini bertentangan dengan prinsip syariah yang menuntut adanya kejelasan dalam transaksi.  Ketiga, kaidah ijab qabul menuntut adanya akad yang jelas dalam setiap transaksi. Perubahan yang dilakukan oleh PT Tamasia tidak didasarkan pada kesepakatan yang transparan antara perusahaan dan nasabah.

Norma Hukum

Dari segi norma hukum, prinsip keadilan dalam transaksi dan norma keterbukaan menjadi perhatian utama. Hukum syariah menekankan bahwa setiap transaksi harus dilakukan dengan adil, dan norma keterbukaan menuntut agar perubahan dalam hubungan kontraktual disampaikan secara jelas kepada semua pihak yang terlibat. Dalam hal ini, PT Tamasia tampak melanggar norma-norma tersebut, mengingat banyak nasabah yang merasa dirugikan dan tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai perubahan yang dilakukan.

Aturan-aturan Hukum

Aturan hukum yang relevan meliputi Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang mekanisme jual beli emas secara tidak tunai (jual beli dengan cara berjangka), yang menyatakan bahwa transaksi emas dalam sistem syariah harus jelas terkait kepemilikan, kepastian penyerahan barang (emas), dan harus bebas dari unsur spekulasi atau ketidakpastian (gharar). Selain itu, regulasi dari Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) juga menjadi faktor penting, karena PT Tamasia tidak memiliki izin resmi untuk menjalankan perdagangan emas digital. Ketidakpatuhan ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya melanggar prinsip-prinsip syariah, tetapi juga hukum positif yang berlaku di Indonesia. Selain itu, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tata cara operasional lembaga keuangan syariah, menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah dalam setiap transaksi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline