Lihat ke Halaman Asli

Mahendra Paripurna

Berkarya di Swasta

Puisi | Syair Cinta di Awal Masa yang Membiru

Diperbarui: 13 Oktober 2018   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Pagar-pagar bambu di muka kelas mungkin akan menghardik. Andai saja disana terukir seulas bibir. Bukan karena kaki-kaki yang sengaja membentur. Atau lemparan bola dari sepakan yang sakiti serabut bambu. Tapi karena syair cinta yang ku ucap di ujung pagi buta.

Meja dan bangku ini ku tahu takkan sanggup lagi menangis. Bukan karena melihat tanganmu yang sesekali ku genggam. Atau melihat tersipu malumu, kala tatapku tak bisa lepas dari wajahmu. Tapi semua karena perihnya pena yang ku goreskan hanya untuk menulis namaku dan namamu.

Dan kala rasa menghujam dada. Bukan hanya karna rindu dan cinta tapi juga karena cemburu. Ku tahu sang bayu takkan mungkin sampaikan salamku. Pesan Singkat masih jauh di ujung waktu. Sepucuk syair yang kuselipkan di lembaran catatanmu jadi penyambung hati yang dipenuhi beningnya embun.

Tapi waktu selalu merubah asa. Dan jarak membelah hati yang tersambung rasa. Mungkin wajahmu bisa hilang dari pandangan. Tanganmu tak bisa lagi ku genggam  Namun kenangan ini akan terus ada di angan.

Warna-warna itu akan selalu terbawa di benak. Bukan putih abu. Ataupun putih biru. Tapi putih merah yang selalu membawa ingatan akan syair cinta di awal masa yang membiru.

Tangerang, Oktober 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline