Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Haidar

Mahasiswa STAI Sadra Jakarta

Menghadirkan Socrates ke dalam Dunia Digital

Diperbarui: 9 Juni 2021   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Patung Socrates

Socrates adalah seorang filsuf klasik yang lahir dan dewasa di Athena. Sedari mudanya ia telah menyukai suatu persoalan yang mengajaknya berpikir secara mendalam. Selepas belajar dengan Archaleaus, Diogenes, Empedodes, dan lain-lain, ia melanjutkan pengembaraan intelektualnya itu dalam kesendirian. Minatnya terhadap hal-hal yang filsosofis sebagaimana pendahulunya itu mencetak dirinya sebagai seorang yang kritis terhadap para teolog, politisi, penyair, hingga kaum sofis.

Socrates dengan sikap kritisnya selalu mempertanyakan ulang atas apa-apa yang telah menjadi "Kearifan Lokal" atau pandangan akan sesuatu yang telah lazim. Akibatnya, ia menjadi dimusuhi dan dibenci oleh sebagian kelompok elit di Athena, terutama para politisi yang merasa terganggu otoritasnya. Meski begitu ia merupakan kawan yang baik sekaligus akrab dengan kalangan anak-anak muda, bahkan dikagumi sebagai orang yang paling bijaksana.

Apa yang membedakannya dengan filsuf lain pada saat itu ialah bahwa Socrates memiliki cara berfilsafat yang unik. Ia tidak melakukan aktivitas filsafatnya dengan merenung di tempat sepi seperti gua, atau gunung. Tidak, malahan ia melakukannya dengan berkeliling atau jalan-jalan ke tempat khalayak ramai seperti pasar dan berdiskusi dengan beberapa kelompok orang di sana. Inilah metode berfilsafatnya yang tanpa menggurui tetapi mengajak orang untuk saling bertanya, mengevaluasi suatu hal, mengkritik, dan menarik sebuah kesimpulan dari apa yang telah dibahas.

Apa yang mendasarinya seperti itu? Ia memercayai bahwa setiap manusia memiliki sejumlah pengetahuan dalam dirinya, yang kemudian kepercayaannya ini memengaruhi muridnya bernama Plato---sehingga terciptalah teori arketipe (ide bawaan). Terlepas dari pada itu, bagi Socrates, pengetahuan dalam diri manusia harus digali dan dituangkan, dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan atau membangun diskusi terarah sehingga melahirkan pengetahuan baru, yaitu kebenaran. Seolah-olah seperti seorang bidan yang membantu proses seseorang melahirkan anak bayi, demikianlah Socrates.

Sementara kini, bukan lagi seperti Athena dan bahkan teramat jauh melampaui zamannya Socrates. Zaman ini adalah dunia never offline, di mana internet dengan seperangkat gadget begitu melekat di keseharian sebagian besar manusia. Sehingga dalam sekeliling kita pun bisa ditemukan anak TK yang amat lincah memainkan smartphone meski hanya sekedar mencari film di Youtube.

Ringkasnya, saat ini smartphone kesayangan adalah prioritas yang tak pernah absen dimulai waktu bangun pagi---barangkali mencari hiburan atau pun mengecek balasan chat dari gebetan sampai hendak waktu tidur.

Berdasarkan laporan Digital 2020 yang dilansir We are Social dan Hootsuite, 174 juta orang pengakses internet menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia. Indonesia menempati peringkat lima besar dunia sebagai pengakses internet melalui smartphone. Sedangkan 80% dari penggunaan internet itu untuk mengakses sosial media, seperti Youtube, Instagram, Whatsapp dan Facebook yang menjadi media terpopuler karena Indonesia.

Menanggapi fenomena tersebut tidaklah cukup dengan sikap optimis lalu menganggap Indonesia akan mampu memenangkan persaingan dalam ekonomi dunia digital. Pada tahun 2015, Menkominfo Rudiantara mengakui kesulitannya dalam membrantas konten-konten negatif di media sosial. Kemudian berlanjut pada tahun 2017 di mana konten negatif di media sosial berupa hoaks, ujaran kebencian, konten SARA, pornografi, dan sebagainya semakin marak---hingga 2020 ini ketika media sosial kedatangan tamu baru yaitu Tiktok yang cenderung berisi joget-joget wanita seksi secara eksotis.

Duta Baca Perpustakaan Nasional Najwa Shihab pernah mengungkapkan minat baca masyarakat Indonesia yang begitu rendah, dan menduduki peringkat 60 dari 61 negara berdasarkan studi Most Littered Nation in the Word yang dilakukan pada tahun 2016. Lebih parahnya, pada tahun 2015 Unesco mengungkapkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Dari sini terlihat pesatnya perkembangan dunia digital dan media sosial itu bermula saat kondisi masyarakat Indonesia yang sangat minim budaya membaca.

Membanjirnya informasi di era digital ini tidak serta-merta meningkatkan kecerdasan masyarakat. Ada beberapa faktor yang memperlihatkan prilaku masyarakat dalam menggunakan media informasi. Di mana karakter netizen kita yang suka keviralan, membaca "judul" beritanya saja dan mudah mengeshare tanpa menyaringnya terlebih dulu, ini menunjukkan pada kita kondisi masyarakat milenial yang sebetulnya masih dalam tahap pra-literasi. Karena memang, literasi bukan hanya membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan berpikir menggunakan sumber informasi cetak, digital, visual, dan audiotori.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline