Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia No. 15 Tahun 2018 tentang Hari Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2018, resmi ditanda tangani.
Artinya, seluruh warga negara diberi kesempatan yang sama untuk ikut terlibat dalam acara lima tahunan ini tanpa dihalangi oleh kewajiban pekerjaan. Aturan ini pada dasarnya membuka ruang bagi pemilih untuk dapat memberikan suaranya di tempat pemilihan masing-masing. Hal ini akan berjalan lurus dengan kenaikan tingkat partisipasi pemilih.
Akan tetapi fakta yang terjadi justru tidaklah demikian. Kebijakan mengenai libur nasional di hari pemungutan suara pada saat pemilu, baik pemilu maupun pemilukada, bukanlah hal yang baru.
Pada momen Pemilukada sebelumnya, kebijakan ini sudah diterapkan. Misalnya, penetapan libur nasional pada PILPRES 2014 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2014 tanggal 30 Juni 2014 justru menjadikan angka partisipasi pemilih menjadi menurun dibandingkan pilpres 2009 dari 71,17 persen menjadi 69,58 persen. Hal serupa juga terjadi pada PEMILUKADA serentak 2015.
Dilansir dari republika.co.id, angka Golput pada pemilukada di Surabaya mengalami kenaikan mencapai 48 persen, bahkan Golput tertinggi terjadi di Samarinda yang mencapai 53,43 persen.
Belajar Pada Masa Lalu
Kebijakan libur pada saat pilkada berlangsung pada era roformasi, meskipun pada awalnya (belum diputuskan pilkada serentak) kebijakan ini hanya berlaku secara regional.
Tetapi dengan adanya aturan Pilkada serentak, libur pada saat Pilakada berlaku nasional. Hal ini berarti daerah yang tidak melangsungkan pemilihanpun dinyatakan libur. Apakah kebijakan ini dapat efektif untuk meningkatkan angka partisipasi pemilih? Ataukah momen ini tidak lebih hanya sebagai "kesenangan" untuk dapat rehat dari pekerjaan?
Kedua pertanyaan ini dapat dijawab secara empirik ataupun dengan jawaban idealis yang lebih bersifat apologik. Semua jawaban akan merujung pada perdebatan yang tidak kunjung selesai.
Untuk menghindari dari perdebatan tersebut, lebih bijak kita melihat dari fakta sejarah pemilu yang sudah dilalui. Dalam konteks pembahasan tentang kebijakan libur nasional, fakta tentang pemilu pada orde lama kita sisihkan karena konteks pada periode itu berada pada masa perkembangan demokrasi. Alangkah baiknya kita mengacu pada orde lama yang dalam beberapa hal, terutama adanya peningkatan pegawai negeri sipil.
Dalam momen pemilu dari 1971 hingga 1997, tidak ada kebijakan libur nasional, tingkat partisipasi pemilih mencapai 92-97 persen. Memang, jika ditinjau lebih mendalam, kebijakan untuk masuk kerja merupakan salah satu strategi penguasa orba untuk memenangkan partai pengusungnya, tapi jika strategi tersebut digunakan untuk meningkatkan partisipasi pemilih, tidak akan dianggap menghianati semangat Reformasi.