Debat calon presiden tahap II telah usai. Jika ditanya siapakah yang menang? Jawabannya semua pasti merasa menang. Jika ditanya siapa yang benar? Jawabannya pasti semua merasa benar.
Memang, kita tidak bisa ketok palu untuk menyepakati hasil dari sebuah perdebatan. Karena yang namanya debat tidak pernah menghasilkan kemenangan dan kebenaran yang bulat.
Kebenaran debat itu benjol-benjol dan bopeng-bopeng akibat hantaman penalaran, emosi dan rasa ketidakadilan dan faktor lain yang terjadi selama proses debat berlangsung.
***
Mendiskusikan kebenaran sering berujung dengan eyel-eyelan. Tidak peduli ia seorang professor doktor yang katanya menjadi makhluk paling rasional akademis atau orang biasa yang hanya lulusan Sekolah Dasar.
Jika toh pelaku diskusinya tidak eyel-eyelan, maka suporter, fans dan pendukungnya yang akan melakukan. Mirip seperti suporter sepak bola yang besorak gemuruh gegap gempita di saat para pemain idola sibuk fokus mengoper bola.
Ini adalah fakta bahwa pemakaian logika tak pernah sama pada setiap orang, karena banyak data yang bisa dicomot dan ditafsirkan berbeda-beda. Silogismenya bisa saja benar tapi kesimpulannya salah. Silogisme dan kesimpulannya benar, tapi sumber datanya bisa saja salah.
Apalagi jika data, silogisme dan kesimpulannya salah, maka pernyataan dan ucapannya juga pasti salah. Jika demikian yang terjadi, maka itulah perang kebenaran tetapi di atas medan dan perangkat yang salah. Tentu saja kemenangannya pun (jika ada) menjadi bermasalah.
***
Andaikata semuanya benar, datanya benar, logikanya benar dan lawan diskusinya juga mengajukan kebenaran yang sama, tidak ada jaminan eyel-eyelan itu tidak ada.
Karena ego dan kepentingan yang dibalut oleh emosi, akan menjadi pemain ketiga. Kita tahu bahwa dalam diri manusia, di samping ada dimensi rasional, ada juga dimensi emosionalnya.