Lihat ke Halaman Asli

Mahbub Setiawan

TERVERIFIKASI

Bukan siapa-siapa

"Dubium Methodicum" untuk Melek Fenomena Politik

Diperbarui: 5 Juli 2018   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: wsaz.com

Andai kita bertanya kepada seorang anak TK begini: "nak, menurutmu hujan berasal dari mana?". Pastinya dia akan mengatakan "dari langit" atau "dari atas". Apakah salah jawaban tersebut? Tidak salah, hanya kurang tepat dan kurang mendalam. Karena sesungguhnya hujan berasal dari proses penguapan air yang ada di bumi juga.

Cara berpikir anak TK tadi adalah cara berpikir faktual perseptual. Artinya dia hanya memersepsi fakta yang dilihatnya oleh indra penglihatannya. Sedangkan cara berpikir yang kedua adalah cara berpikir faktual saintifik, artinya menafsirkan fakta tersebut melalui pendekatan ilmiah.

Keduanya benar dalam batasannya masing-masing. Keduanya diperlukan dalam kondisi tertentu. Bisa dibayangkan jika kebenaran hujan dari langit tidak diyakini atau ditolak, hanya karena mengetahui hujan berasal dari bumi, tentu orang menggunakan payung tidak diposisikan di atas kepala, mungkin saja di bawah mata kaki. Hal yang aneh tentunya jika terjadi demikian.

Atau, jika hanya meyakini hujan dari atas langit dan menolaknya bahwa ia juga berasal dari penguapan air di bumi, tentu program reboisasi, konservasi hutan hujan sebagai paru-paru bumi yang berfungsi menyerap air tidak dikampanyekan. Biarkan saja hutan gundul ditebangi sampai mengakibatkan banjir. Tidak lucu juga bukan?

Antara Fakta dan Penafsiran

Di sini kita berbicara antara fakta dan penafsiran. Fakta boleh saja diberitakan, disampaikan kepada siapa pun yang berkepentingan. Karena tingkat pengetahuan dasar yang dikuasai manusia adalah fakta yang bisa ditangkap oleh pancaindranya. Ia merupakan landasan dari berbagai pengetahuan lanjutan yang lebih kompleks sifatnya.

Tetapi jika manusia hanya berhenti dalam pengetahuan faktual, maka manusia tidak ubahnya dengan flashdisk yang mampu menampung jutaan informasi tentang fakta yang direkam ke dalamnya. Bahkan bisa-bisa pusat data (data center) Google lebih hebat daripada manusia dalam hal menyimpan dan merekam fakta dan data.

Manusia tidak hanya sekedar hidup di tengah hutan rimba fakta. Manusia hidup penuh warna di tengah-tengah opini dan interpretasi yang dikreasi oleh masing-masing diri. Di dalam ruang opini dan interpretasi itu sejatinya manusia berada sebagai makhluk yang berpikir bukan makhluk penyimpan fakta dan data semata-mata.

Citra boleh saja dijadikan pijakan untuk menilai sesuatu. Karena citra adalah fakta pertama yang bisa dipahami oleh manusia. Bahkan bayi sekalipun bisa memahami citra olahan pancaindranya. Tetapi citra bukan kebenaran yang sesungguhnya, ia hanya salah satu pintu yang bisa mengantarkan penikmatnya ke tujuan yang mungkin saja menyenangkan atau justru sebaliknya, malah menyengsarakan.

Tidak percaya dengan kaidah ini? Coba saja makan makanan cepat saji terus menerus untuk membenarkan citranya sebagai makanan praktis, menarik, lezat dan bergengsi. Niscaya dalam beberapa bulan bobot tubuh menjadi kian bertambah dan beragam penyakit mulai kolesterol, penyempitan pembuluh darah, jantung koroner dan diabetes datang berlomba-lomba menghampiri tubuh kita.

Untuk menghindari hal yang demikian, maka di sini penafsiran seorang dokter tentang makanan cepat saji pantas untuk didengarkan. Semua dalam rangka menjaga kesehatan dan melek dengan kebenaran baru. Kebenaran bahwa meskipun citra dari makanan cepat saji itu bergengsi dan enak, tetapi ternyata membawa penyakit sampingan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline