Orisinalitas pemikiran dan penghayatan mengenai objekdan peristiwa, dengan segala keterbatasannya, lebih bernilai dari sekadar mengutip dogma atau memutar ulang rekaman dan catatan sejarah tanpa memberikan makna baru ke dalamnya.
Pemaknaan terhadap objekdan peristiwadi sekitar kita, hakikatnya adalah upaya menemukan sifatdan esensiyang belum ditemukan dan belum dipahami sebelumnya.
Memang, selalu ada resiko dalam setiap upaya pemaknaan tersebut. Resiko itu adalah kesalahan di mana sifatdan esensiyang didapatkan tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Namun jika upaya demikian kita niati sebagai cara mensyukuri nalar akal dan rasa hati yang diberikan Tuhan pada diri kita, maka kategori benar dan salah hanyalah bagian kecil dari penilaian Tuhan terhadap upaya apapun dari manusia.
Manusia masuk surga atau neraka bukan karena urusan benar dan salah semata yang dialami semasa hidupnya. Manusia masuk surga atau neraka juga karena urusan kehendak dan kerelaan Tuhan terhadapnya.
Betul bahwa kehendak dan kerelaan Tuhan tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran, tetapi sekuat tenaga manusia menyesuaikan diri dengan kebenaran agar bisa masuk surga, tidak ada jaminan terjadi keselarasan antara upaya itu dengan kehendak dan kerelaan-Nya.
Jadi, yang terpenting bagi kita sebagai manusia adalah menemukan makna yang berupa sifatdan esensidari objekdan peristiwadi sekitar kita, tanpa membuat legitimasi dan memonopoli status kebenaran dan nilai temuannya.
Kita serahkan saja kepada Tuhan penilaian akhir terhadap semua hasil dari upaya tersebut. Semoga Tuhan memaklumi dan memaafkan kita yang sedang berupaya menyingkap makna itu tetapi ternyata tidak selaras dengan kebenaran yang dikehendaki-Nya.
Karena dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, manusia tidak akan pernah bisa mengetahui semua kehendak-Nya yang tidak terbatas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H