"Saya mulai belajar beternak sama berkebun. Di daerah Purwakarta sama teman-teman," ujar Gatot saat ditemui di Mabes AD, Jakarta Pusat, Senin (15/1/2018). "Ayam kan pasarnya enggak akan habis-habis telurnya. Makin naik lagi," kata Gatot. Demikian kutipan berita dari Kompas mengenai niatan mantan Panglima TNI Gatot Nurmayanto setelah pensiunnya nanti.
Ini bukan berita penting mengenai nasib bangsa dan negara yang terucap dari seorang mantan panglima TNI. Ini juga bukan kalimat retorika kaum politisi yang suka berimajinasi mengenai masa depan negeri ini tapi kemudian yang bersangkutan akhirnya malah menghabiskan masa depan hidupnya dengan meringkuk di balik jeruji besi.
Ini adalah ungkapan sederhana seorang manusia biasa yang setelah sekian lama menduduki puncak kekuasaan tertinggi dalam barisan orang-orang kuat bersenjata di negeri ini, panglima TNI.
Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, pada tanggal 8 Desember 2017 Presiden Joko Widodo telah melantik Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI yang baru menggantikan Gatot Nurmayanto.
Kemudian satu hari berikutnya pada tanggal 9 Desember dilakukan upacara serah terima jabatan di antara keduanya. Selesai sudah amanat yang diemban oleh Gatot Nurmayanto sebagai Panglima TNI dan beralih kepada Hadi Tjahjanto.
Kebiasaan para wartawan, jika melihat atau mengetahui seorang mantan pejabat tinggi apalagi sekelas mantan panglima TNI yang purna jabatan, mereka ramai-ramai menanyakan apa yang akan dilakukan yang bersangkutan. Akankah masuk ke dunia politik? Atau sekedar menimang cucu belaka? Siapa pun mungkin akan berpikiran bahwa Gatot Nurmayanto memiliki kesempatan luas jika mau terjun ke dunia politik.
Bahkan belum juga beliau resmi pensiun sebagai perwira aktif di TNI, Golkar dan Gerindra sudah "bernafsu" membuka pintu bagi beliau. Bahkan secara terang-terangan PPP Solo, seperti yang diberitakan Kompas, sudah mengatakan siap "mengusung" Gatot Nurmayanto jika yang bersangkutan memiliki kehendak untuk maju dalam Pilkada Jawa Tengah.
Begitulah "nafsu merekrut" dari para politisi jika melihat seorang warga negara yang dianggapnya bisa jadi kader emas bagi partai politiknya.
Ini adalah hidup dan kehidupan. Ungkapan Gatot Nurmayanto di atas seolah menyadarkan dan menggedor status quo pemikiran kita semua. Pemikiran yang selalu linier dan membosankan.
Seolah-olah jika seseorang dengan prestasi luar biasa harus selalu memiliki prestasi dalam segala hal termasuk "imajinasi yang dipaksakan" untuk masuk ke dalam dunia politik yang penuh intrik. Mungkin ada rasa "eman-eman" dengan nama besarnya sebagai mantan Panglima TNI. Nama yang biasa dipakai untuk menjulangkan nama partai politik. Begitulah barangkali pemikiran yang ada di benak mereka yang memberikan tawaran partainya untuk dimasuki oleh Gatot Nurmayanto.
Secara tidak sadar, pola pikir demikian sebenarnya telah merampas kemerdekaan pola pikir orang lain. Pola pikir yang mereduksi nilai dan manfaat nama seseorang "harus dimanfaatkan" untuk tujuan yang menurutnya benar.