Sebagian masyarakat kita mungkin belum memahami betul apa itu coronavirus, COVID-19, physical distancing, pandemi dan sebagainya, mereka baru sebatas mengetahui bahwa saat ini adalah masa pagebluk, penyakit menular berbahaya, sehingga harus waspada, menjaga jarak, hidup bersih, selalu mengenakan masker, membiasakan cuci tangan dengan sabun dan sebagainya sesuai instruksi pemerintah.
Pandangan seperti itu tidak saja berasal dari masyarakat umum, namun pembelajar khususnya tingkat SMP atau SMA diyakini juga sama, mengingat tingkat literasi siswa di Indonesia berdasakan laporan PISA 2018 masih sangat rendah.
Pada aspek literasi digital, sebagian masyarakat atau pembelajar masih mempercayakan sumber-sumber informasi dari media sosial yang lalu lintasnya sangat padat, dan tentunya belum dapat dipercaya. Laporan perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia telah menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Total populasi Indonesia yang sebanyak 265,4 juta jiwa, jumlah pengguna aktif di media sosial telah mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen. Pembiasaan untuk menimbang, membandingkan, dan berpikir kritis dalam pencarian informasi yang benar adalah keharusan agar berita bohong atau hoaks dapat ditekan.
Berdasarkan informasi dari website resmi WHO, Coronavirus atau virus corona adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus jenis baru yang ditemukan menyebabkan penyakit COVID-19. Jadi, COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru yang sebelumnya belum dikenal saat terjadinya wabah di Wuhan, Tiongkok, bulan desember 2019. Mobilitas penduduk dunia antar negara akhirnya memperlancar penularan virus corona jenis baru ini dengan cepat, mewabah secara global yang pada akhirnya dijadikan WHO sebagai pandemi.
Pandemi COVID-19 akhirnya berdampak luar biasa bagi penduduk dunia di banyak aspek, Ekonomi, pembangunan, sosial, dan termasuk juga dunia pendidikan. Pada tulisan ini penulis lebih menfokuskan masalah pendidikan, bagaimanapun juga rupa dunia ini akan dibentuk oleh tingkat pendidikannya. Ada pameo mengatakan, orang akan terbentuk dari apa-apa yang ia baca, dan terlihat dari apa-apa yang ia tulis. Kesadaran individu sebagai pembelajar, yang kemudian menjadi kesadaran kolektif suatu bangsa akan menentukan gambaran bangsa tersebut pada masa yang akan datang.
Hampir seluruh negara menutup sekolah akibat pandemi ini, dan mengalihkan pembelajaran yang biasanya dilakukan di kelas (class room) menjadi pembelajaran daring atau online. Tentu tidak menjadi masalah bagi negara-negara yang memang pendidikannya sudah maju, mereka sudah terbiasa untuk menerapkan pembelajaran blended learning, dimana pembelajaran di kelas dipadukan dengan e-learning diluar sekolah yang disertai dengan sumber belajar yang sangat memadai.
Ketersediaan jaringan internet dan dukungan ekonomi untuk dapat mengakses pembelajaran daring juga tidak menjadi kendala. Contohnya adalah finlandia, berdasarkan laporan Faculty of Social Sciences at the University of Helsinki Tahun 2010, negara dengan peringkat pendidikan terbaik ini telah mengkaji dan menerapkan blended learning dan hasilnya menggembirakan khususnya untuk meningkatkan hasil belajar kognitif siswa.
Bagaimana dengan Indonesia?. Sejak pandemi COVID-19 Pemerintah telah menerbitkan peraturan Work From Home (WFH) serta Study From Home (SFH) pada lembaga-lembaga pendidikan.
Guru dan siswa melakukan pembelajaran secara daring, bagi sekolah-sekolah di kota kecil atau di desa hal ini tidak biasa, dan untuk saat ini harus dilakukan mengingat tujuan pembelajaran yang terangkum dalam satu semester harus dilaksanakan dan harus selesai. Guru terpaksa belajar untuk mengenal platform pembelajaran daring semisal google classroom dan sejenisnya, atau lembaga pendidikan yang sudah siap membangun sendiri website pembelajaran daring atau e-learning.
Dampak positif dari pendidikan di masa darurat COVID-19 ini akhirnya guru lebih familiar, memahami dan menerapkan pembelajaran dengan moda daring. Meskipun belum ada data akurat keterlaksanaan pembelajaran daring selama pandemi COVID-19, tapi dapat diperkiraan tidak mungkin pembelajaran daring ini terlaksana lebih 80%, karena begitu banyaknya kendala dari guru sendiri maupun siswa dalam mengakses pembelajaran daring.
Kendala dari guru mungkin lebih disebabkan pengetahuan mereka yang terbatas tentang teknologi dan penerapannya pada dunia pendidikan. Harus jujur mengatakan, bahwa sebagian guru di tanah air memang belum dipersiapkan dengan semestinya untuk menjadi pendidik dan pembelajar yang handal.