Sejak ditemukannya persebaran penyakit menular mematikan yang disebabkan oleh virus korona jenis baru di Wuhan akhir Desember lalu, seluruh dunia kini dalam bayang-bayangnya. Penyakit yang dinamai COVID-19 ini sangat mudah menular. Dengan globalisasi dan kemudahan transportasi antar-negara, penyakit ini pun menadapatkan jalannya untuk menyebar ke lebih dari 200 negara dan dinyatakan sebagai sebuah pandemi hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan sejak pertama kali diketahui persebarannya.
Hal ini pun memaksa pemerintah untuk bergerak cepat menerapkan kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia. Langkah awal pemerintah untuk menghadapi pandemi ini adalah dengan menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di daerah persebaran virus Corona. Dengan diberlakukannya PSBB, perkantoran diwajibkan untuk mempraktikkan WFH (Work From Home), sekolah ditutup dan diberlakukan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), tempat ibadah, tempat pariwisata, dan pusat perbelanjaan juga ikut ditutup. Dampaknya pun dirasakan di semua sektor kehidupan kemasyarakatan.
Namun, pemberlakuan PSBB kenyataannya tidak dapat menghentikan penularan COVID-19. Walaupun kecepatan penularan dapat diminimalisir, sudah lebih dari 10.000 orang di Indonesia telah terkonfirmasi meninggal akibat COVID-19 per tanggal 24 September lalu. 278.722 orang atau setidaknya 1/1000 populasi Indonesia telah dikonfirmasi terpapar COVID-19 telah per tanggal 28 September 2020. Hal ini menunjukkan keseriusan kondisi yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia.
Tidak hanya berdampak terhadap kesehatan fisik saja rupanya, pandemi COVID-19 juga berdampak terhadap kesehatan mental. Dampak kesehatan mental tentang apa yang terjadi selama pandemi ini bagi orang-orang, untuk saat ini dan seterusnya, benar-benar akan menjadi masalah secara umum (Petsanis, 2020). Berbeda dengan dampak penyakit COVID-19 yang hanya berpengaruh terhadap pasien, pandemi ini secara langsung dan tidak langsung juga ikut mempengaruhi kesehatan mental semua orang.
D. Liu (2020) mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 berdampak luas terhadap kesehatan mental masyarakat. Studinya yang melibatkan 14.592 sampel di Tiongkok, menunjukkan bahwa 53,5% sampel mengalami depresi dan 44,6% lainnya mengalami kecemasan selama pandemi COVID-19. Sedangkan, dari hasil studi P. Odriozola- Gonzalez et al. (2020), ditunjukkan bahwa dari 3.550 sampel di Spanyol, 44,1% sampel mengalami depresi, 32,4% mengalami kecemasan, dan 37% lainnya mengalami stres selama pandemi ini.
Menurut WHO (2020), dampak pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain, rasa takut tertular virus, pembatasan ruang gerak, sekolah dan bekerja yang dilaksanakan di rumah, dan risiko pengangguran.
Hal ini perlu dijadikan bahan mitigasi lebih lanjut. Terlebih karena Potensi terjadinya krisis kesehatan mental akibat COVID-19 di Indonesia cukup tinggi. Mengingat bahwa pengangguran yang menjadi salah satu faktor penyebab gangguan kesehatan mental, angkanya diprediksi akan meroket. Dari 4,99% pada bulan Februari lalu (BPS,2020), menjadi setidaknya 9,2% pada akhir tahun ini (Kemen PPN,2020). Petsanis (2020) menyatakan bahwa terdapat korelasi antara pengangguran yang terjadi dengan prevalensi rheumatoid cardiopathies atau penyakit rematik jantung pada masa ketidakpastian ekonomi AS sebelum terjadinya Perang Dunia II. Bahkan bukan hanya korelasi, kausalitas dapat didirikan dari dampak yang ditimbulkan stress seperti immunosuppression dan vasospasme pembuluh darah.
Selain itu, praktik WFH dan PJJ yang masih terus dilakukan di masa PSBB yang berkepanjangan, berpotensi untuk memberikan dampak yang lebih luas terhadap kesehatan mental masyarakat, khususnya pada anak dan remaja. Dampak yang ditimbulkan akibat praktik karantina atau isolasi pada anak untuk mencegah terjadinya penularan sangatlah besar. Ditemukan bahwa kecenderungan anak yang mengalami proses karantina atau isolasi untuk menimbulkan gejala PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), atau gangguan stress pasca-trauma, adalah sebesar 4 kali lipat dari anak yang tidak mengalami karantina atau isolasi (Sprang &.Silman, 2013).
Badai ketidakpastian dan kondisi penularan di Indonesia yang tidak menunjukkan perbaikan berarti juga dapat menimbulkan kecemasan berlebihan di masyarakat. Sudah lebih dari 7 bulan bangsa Indonesia bergumul dengan COVID-19. Kurva kasus COVID-19 pun belum menunjukkan tanda-tanda melandai atau menurun. Tidak hanya itu, dampak kesehatan mental yang muncul akibat pandemi COVID-19 ini sangat berpengaruh terhadap tenaga kesehatan professional (Sher L., 2020).
Upaya mitigasi, prevensi, dan rehabilitasi dampak pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental harus mulai dipikirkan semua pihak. Mulai dari pemerintah, sampai individu-individu anggota masyarakat.