Lihat ke Halaman Asli

Jaka Mau Ikut Puasa!

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Langit mendung. Sore ini Jaka mengendarai vespa tercintanya untuk membeli buku-buku bacaan baru di bilangan Pasar Minggu. Dingin memang angin hari ini. Seharian hujan, Jaka juga hanya memakai kaus oblong, celana bali, dan sandal jepit. Tapi tidak  apalah, cuma sebentar ini, nanti juga hangat lagi di rumah, sambil membaca buku baru pula, nikmat pastinya.

Ternyata "Etno", nama toko buku tujuannya tutup. "Ah, sekalian beli senar gitar sajalah," pikirnya. Sudah kepalang tanggung, di dekat sini juga ada toko musik yang cukup murah. Langsung ditancap lagi vespanya.

Jaka mendapatkan senar nilonnya, bertepatan dengan saat adzan maghrib berkumandang. Ia melihat ada tumpukan kue dan aqua gelas di dekat tempat parkir vespanya. Ingin juga rasanya ia cicip sedikit kue bolu lapis keju itu. Pasti legit dan maknyus.

"Ah, paling ini buat hidangan berbuka orang-orang di sini," pikirnya. Sampai tiba-tiba ada seorang pria melihat ke arahnya dengan tatapan ramah.

"Ayo silahkan, buka dulu puasanya," ujar pria itu.
"Iya pak terimakasih!" ujar si Jaka sambil menyalakan rokoknya. Ia tersenyum lalu menyalakan vespanya.

Buat Jaka, tidak etis baginya untuk mengambil jatah orang lain berbuka. Kasihan kalau yang lain kurang, sedangkan ia sendiri tidak puasa.

"Mari pak!" sahut Jaka sambil meluncur pulang ke rumah.

Dalam perjalanan pulang ia merasa sejuk, tidak terlalu dingin lagi anginnya, sepoi-sepoi. Indahnya setiap orang saling berbagi, setelah sehari bersama-sama memerangi pertarungan pribadi mereka. Ia ingat tadi ayahnya menelepon, mengajaknya berbuka di rumah bersama ibu tirinya. Mereka membeli ayam bakar untuk disantap bersama. Untung rumahnya dekat saja, sebentar juga sampai.

Keluarga Jaka memang Islam, tetapi Jaka menentukan pilihannya untuk tidak menjadi seorang Islam. Sebelum ayahnya menikah lagi, ibunya adalah seorang Katolik. Mereka bercerai saat Jaka masih SMP. Jaka tetap tinggal bersama ayahnya, sampai si ayah menikah lagi. Keluarganya sangat demokratis, bahkan sebagian orang bilang terlalu. Sejak SD Jaka sudah boleh untuk menentukan pilihan kepercayaannya sendiri. Sebagian kerabat bahkan menghujat orangtua Jaka yang katanya "membiarkan anak tersesat." Tapi sekarang Jaka sudah punya pendiriannya sendiri, dan itu bukan Islam -sebodo amat menurut para kerabat ia tersesat.

"Ayo Jak, sudah siap nih, tinggal nunggu kamu!" Seru ayahnya dari meja makan.

Ayah dan ibu tirinya sudah berbuka duluan, tetapi menunggu Jaka sampai di rumah dulu sebelum menyantap ayam goreng, terong bakar, serta sambal lezat buatan pembantu di rumahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline