Lihat ke Halaman Asli

Madrasah Ibtidaiyah Al Azhar Senduro Budaya Lepas Sepatu

Diperbarui: 27 Desember 2018   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

MI Al Azhar Senduro - Budaya Lepaskan Sepatu Dulu.

Setiap hari pembelajaran jalan menuju ruang kelas MI Al Azhar Senduro selalu bersih dari sepatu. Semua murid meletakkan sepatunya di rak yang sudah ditentukan. Tertata rapi diluar ruangan kelas. Murid hanya boleh memakai kaos kaki ke dalam ruang kelas. Saya masih ingat kaos kaki dulu bisa jadi amunisi serangan mendadak kepada teman sebangku. Biasanya kaos kaki juga menjadi "pengharum" ruangan alami, namun kini zamannya sudah berbeda nampaknya kaos kaki sudah mengalami era kebersihan. Tepat 06.30 Wib saya sudah siap duduk di antara barisan murid. 

Sebagai pengajar baru, berdekatan dengan murid menjadi agenda paling mutakhir agar sekiranya nanti bisa lebih akrab lagi. Wajah anak kecil itu selalu riang tanpa beban, tingkah polah mereka, senyuman mereka, langkah yang begitu ringan mengikuti hati, bercandanya paling hanya sesekali saja. 

Entah bagaimana sudut pandang mereka melihat pengajar baru seperti saya. Yang jelas, saya lebih mencari poin untuk mengerti bagaimana menjadi mereka. Sebab saya juga ingin tahu indahnya menjadi anak kecil lagi. Yapps, intinya penasaran kepada peran asyiknya menjadi murid. Apa ya pusingnya menjadi mereka?

Dalam sunyi saya bersuara kok kayaknya harus tukar peran nih, bagaimana tips hati riang gembira selugas itu. Namun definisi murid tetaplah mereka yang mau belajar tanpa henti. Pengajar pun hakekat sebenarnya juga menjadi murid. Dosen saya dulu pernah bilang "kalau dosen sudah kehilangan jiwa mahasiswa, maka gantung saja pikirannya di tempat jemuran. 

Sebab pasti dia jadikan pengetahuannya menjadi barang habis pakai (rombengan)." Cerita itu saya rasakan hari ini yang mulai hidup dalam dunia pendidik. Menunjukkan kualitas intelektual harus selalu dibarengi dengan kesadaran menjadi murid. Saya pernah satu kali masuk di ruang murid kelas 4. 

Saya tulis di papan tulis 4 kosakata yang harus mereka rangkai agar menjadi kalimat. 4 kata itu adalah Saya - Tidur - Hujan - Mandi. Pola pengajaran sekitar 15 menit saja sudah tersusun 6 kalimat dengan makna yang berbeda-beda. Artinya sebenarnya berbeda pula kecerdasan murid melihat sesuatu. 

Sangking cerdasnya, sampai telinga saya bising oleh suara teriakan murid. Poin itu yang saya terus gali dari pikiran mereka agar ruang kelas menjadi serapi rak sepatu setiap pagi. Semua murid membutuhkan simulasi agar mereka mampu berfikir berbeda. 

Saya membayangkan sepatu mereka menjadi pembicaraan mereka suatu saat nanti ketika lulus madrasah?. Loh sepatu itu harus ditata rapi atau apa harus dipakai ya?. Poinnya ada dimana kita meletakkan persepsi. 

Saya setuju dengan sepatu dilepas sebab itu memudahkan walimurid untuk tidak membebankan pendidikan dengan variabel merek sepatu. Jadi murid pergi sekolah tidak dibebankan pada sosialita. Barangkali sebagai pengajar, saya harus berkaca pada model pengajaran yang berkualitas. Mengapa? 

Sebab murid mungkin bisa menghargai saya karena usia saya lebih tua, tapi tuntutan masa depan murid itu bekal apa yang sudah saya sampaikan ketika pelajaran. Melihat sepatu, saya jadi teringat lagi sebuah iklan tv sebuah semir sepatu "sukses berawal dari bawah". Tapi saya yakin makna itu bukan dari sepatu, sebab sepatu yang ditata rapi diluar ruangan lebih terlihat humanis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline