Lihat ke Halaman Asli

Trauma Bangsa : Obral Aset Negara

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_45181" align="alignleft" width="270" caption="waspadai pihak-pihak yang akan menguasai kita"][/caption]

Tahun lalu, tepatnya hari Senin 28 Juli 2008, Amien Rais didampingi Marwan Batubara (DPD RI), Abdullah Sodik (Serikat Pekerja Pertamina), Adhie Massardi (Tim Indonesia Bangkit), Bagus Satriyanto (ILUNI UI), Iman Sugema (Intercafe-IPB), Hendri Saparini, Fadhil Hasan (INDEF), Ryad Chairil (CERL) dan Warsito (MITI), mendeklarasikan Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPK-N) di Jakarta. Komite ini dideklarasikan sebagai wujud kepedulian dan keprihatinan atas pengelolaan kekayaan negara oleh penyelenggara negara yang menurut para penggagasnya, tidak transparan dan melanggar amanat konstitusi UUD 1945. (Sumber).

Setahun kemudian, apa yang mereka khawatirkan mulai ramai dibicarakan publik setelah media menghembuskan isu penjualan aset negara berupa Komplek Gelora Bung Karno dalam penjualan sukuk atau surat berharga syariah negara (SBSN). Ternyata isu itu telah berkembang luas di masyarakat dan dikhawatirkan pemerintah akan menjadi gerakan massa dan bom waktu sebagaimana kejadian tahun 2003. Saat itu publik dan ekonom Indonesia sepakat mengecam kebijakan pemerintah menjual saham-saham BUMN seperti PT. Indosat, PT. Telkom, PT. Perusahaan Gas Negara, PT. Semen Gresik, PT. Pembangunan Perumahan, PT. Aneka Tambang, dan perusahaan strategis lainnya. (Sumber : Ditjen Kekayaan Negara, Depkeu RI).

Isu tersebut kemudian dibantah oleh Kepala Biro Humas Departemen Keuangan Harry Z Soeratin dalam siaran pers yang dikeluarkan di Jakarta, Rabu (1/7/2009) yang menyebutkan bahwa penerbitan SBSN/sukuk negara dilakukan dengan tidak menjual aset negara. (Sumber)

Namun masyarakat negeri ini tetap kurang puas mengingat trauma atas kebijakan pemerintah sebelumnya ketika melakukan obral besar-besaran menjual mayoritas saham perusahaan-perusahaan negara seperti yang sudah saya sebut di atas tadi, bahkan saat ini PT. Indosat telah mutlak dimiliki swasta, sedangkan yang lain saham kepemilikan negara sudah mencapai ambang bawah penguasa perusahaan yakni 51%. Kali ini rakyat tidak ingin kecolongan lagi.

Kita pantas bertanya, bagaimana sebenarnya sejarah pengelolaan aset negara ini?

Sejak diundangkannya UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pada tanggal 5 April 2003, sebenarnya arah kebijakan transparansi keuangan negara mulai agak jelas dan terarah. Undang-undang yang dirumuskan Menteri Keuangan Boediono dan ditandatangani Presiden Megawati pada waktu itu, bertujuan untuk mengelola dan menertibkan keuangan negara dari segi penerimaan, pengeluaran, tugas layanan umum, perpajakan, dan kekayaan negara.

Kekayaan negara di sini maksudnya adalah kekayaan yang dikelola sendiri oleh pemerintah untuk tugas penyelenggaraan negara dan kepentingan umum atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara, serta kekayaan negara lainnya.

Singkatnya kekayaan negara terpecah ke dalam tiga bagian :

(1)Dikelola sendiri oleh pemerintah untuk tupoksinya disebut Barang Milik Negara (BMN)

ex : tanah dan bangunan kantor Depkeu, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Madrasah Aliyah Negeri, dsb.

(2)Dikelola pihak lain dinyatakan sebagai penyertaan modal disebut Kekayaan Negara Dipisahkan

ex : saham di BUMN, saham di Perum, dsb

(3)Dikuasai negara namun dikelola pihak lain disebut Kekayaan Negara Lain-lain

ex : aset nasionalisasi eks-cina/asing, cagar budaya, aset eks-BPPN, sumber daya alam/mineral, dsb

Catatan :

Sejak era Menteri Keuangan dijabat Sri Mulyani, ketiga jenis kekayaan negara ini telah dikelola sepenuhnya oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, bahkan sekarang sedang proses perumusan RUU Kekayaan Negara sebagai payung hukum pengelolaan kekayaan negara tersebut.

Untuk butir (1) tadi telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 120 tahun 2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara

Untuk butir (3) telah diatur dalam PMK No. 100 tahun 2008 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara Lain-lain.

Lalu yang butir (2) tersebut siapa yang mengelola?

Untuk diketahui, pada bulan Juli 2003, sebulan setelah diterbitkan UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, Presiden Megawati menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 tahun 2003 Tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Persero, Perum dan Perjan Kepada Menteri NegaraBUMN.

Dan pastinya kompasianer tahu semua siapa Menteri Negara BUMN pada waktu itu dan apa hubungannya dengan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum sebuah partai.

Yang jadi masalah adalah mengapa bisa peraturan yang lebih rendah mengalahkan peraturan di atasnya, dalam hal ini PP No. 41 tersebut melangkahi amanat Pasal 24 butir 3 UU No. 17 tentang Keuangan Negara, yang menyebutkan“Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara”.

Sejak itulah pengawasan dan pengelolaan BUMN beralih dari Boediono kepada Laksamana Sukardi.

Entah disengaja atau tidak, sejak PP tersebut disahkan, pemerintah waktu itu seperti mempunyai landasan hukum untuk menjual saham-saham Indosat, Telkom, dan masih banyak lainnya kepada pihak asing. Sejak itu, para ekonom dan masyarakat Indonesia bergejolak dengan adanya kebijakan itu. Hal ini diakui Laksamana Sukardi sendiri dalam acara serah terima jabatan Menteri BUMN dari dirinya ke Sugiharto, Kamis (21/10/2004) pukul 15.00 WIB. (Sumber).

Tidak hanya itu, Menteri Negara BUMN yang diserahi pengelolaan aset BPPN malah lebih gila lagi dalam ‘membelanjakan’ asetnya. Banyak aset besar dijual murah dengan harga di bawah 10 persen dari nilai buku. Sebagian aset itu jatuh ke tangan asing. Hasil penjualan aset BBPN -- yang awalnya bernilai total sekitar 600 triliun --, diperkirakan tinggal mencapi 150 triliun. Karena kewajiban BPPN berupa obligasi sebesar Rp. 700 triliun, maka akan terjadi bolong Rp. 550 triliun yang tak ditopang aset. Sebagian besar kewajiban itu berasal dari konglomerat hitam penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pelanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Namun karena utang budi dan komitmen fee yang besar, Laksamana berani membebaskan mereka dari tuntutan dan proses hukum dengan mengeluarkan Release and Discharge. (Sumber).

Masa pemerintahan telah berganti sejak tahun 2004, adakah perubahan signifikan dalam hal pengelolaan aset negara? Bukankah kemarin ramai-ramai masih ada isu penjualan aset lagi? Bagaimana juga kisah penjualan aset negara di negara lain?

Biar tidak terlalu panjang pembahasannya, kita tunggu saja postingan saya berikutnya.

Semoga bermanfaat, sekian dulu dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline