Lihat ke Halaman Asli

Ketika Homo Dianggap Lebih Baik dari Radikalisme Agama?

Diperbarui: 12 Maret 2016   00:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Radikalisme Agama dan Homoseksual Lebih Berbahaya Mana? Begitulah tulis satu judul di laman website yang di-copas oleh seorang yang (terang-terangan) mengaku gay di akun Line. Saya sedikit tertawa, sepintas terpikir, mungkin buka dia saja yang akan nge-share link tersebut. Setidaknya, orang yang pro homoseks juga akan mendukung isi tulisannya.

Singkatnya, isi artikel itu, menyeolahkan kaum homo bisa memberikan perdamaian sejati. Seolah, polah mencintai sesama jenis kelamin itu lebih manusiawi, lebih fitrahi, tinimbang orang-orang yang mempunyai satu keyakinan keagamaan yang radikal.

Namun tidak ke sana titik pembahasan kali ini. Permasalahannya, apakah fair membandingkan perilaku menyimpang itu dengan radikalisme? Seolah pilihan hanya ada dua, mau memilih dunia ini dikuasai orang-orang radikal yang kerap mencacah darah. Atau pelaku homoseks yang memiliki kelainan orientasi seksual, yang selalu mengklaim tidak pernah membunuh atas nama agama?

Melihat dua perbandingan ini, saya jadi teringat satu tebak-tebakan satire. Ganteng atau cantikan mana Anda dengan monyet? Bisa jawab?

Andai kata Anda menjawab diri sendiri yang lebih ganteng atau cantik. Maka Anda sebanding dengan monyet!

Sederhananya, pertanyaan itu adalah satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Mengapa? Karena manusia dengan monyet adalah dua jenis makhluk yang berbeda. Anda manusia, monyet binatang. Gantengnya manusia tidak bisa dibandingkan dengan binatang. Sehingga keduanya bukan sesuatu yang bisa dibandingkan, bahasa kerennya tidak apple to apple.

Kembali ke Homoseks atau Radikalisme Agama? Ah, sungguh geli membandingkannya. Tapi, baiklah, mari kita “jawab”.

Sebelumnya, ada hal menarik ketika mengetengahkan kedua aspek ini. yaitu, keduanya sama-sama lahir dan dilahirkan dari kesalahan persepsi. Ketika kita salah dalam mempersepsikan ajaran agama, ketika kita salah dalam menafsirkan ajaran kitab, maka akan muncul kesalahan dalam pengaplikasian.

Contoh, saat perseteruan agama melibatkan etnosentrisme, jangan heran bisa lahir kaum Budhis yang ekstrimis. Pembantaian yang dilakukan pemeluk ajaran Budha kepada orang-orang yang tidak sekufu. Kasus pembantaian muslim Rohingya di antaranya. Pun ketika bertolak ke Afrika Selatan, antara misionaris Kristen dengan umat muslim di sana, terjadi perseteruan yang tak kalah memilukan hati. Terjadi konflik kemanusiaan di sana.

Kata Radikalisme Agama sendiri sebetulnya mengalami kemunduran makna. Ketika sebelumnya seseorang bersiteguh memegang ajaran disebutnya radikal. Misalkan, muslimah berhijab syar’i radikal. Laki-laki yang berusaha menjaga izzah diri, disebut radikal. Bahkan jihadis yang memperjuangkan keyakinan dan tanah airnya dari jajahan laknatullah Israel juga radikal. Karena yang mereka lakukan adalah menjalankan apa yang diperintahkan kitab suci mereka. Itu definisi muasalnya.

Namun pemaknaan ini bergeser, ketika ada orang yang salah kaprah menjalankan dustur juga dikatakan radikal. Yang membunuh atas nama agama disebut radikal, yang memperkosa atas nama agama, disebut radikal. Pencampuran makna ini membuat kata radikal menjadi tidak khittah lagi. Maka perlu ada pendefinisian baru untuk menyebutkan orang-orang yang menjadi parasit, yang hidup dalam naungan agama. Dengan kata lain, mau mengalamatkan kata radikal ini ke kelompok yang mana?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline