Sebuah percakapan absurd antara manusia, bot, dan kehilangan.
bot whatsapp grup aku bertanya padamu:
"apakah Tuhan suka makan sate kambing?"
aku ingin tahu apakah darah ini cukup lezat
untuk dijadikan jamuan di meja jagal semesta.
bot whatsapp grup aku bertanya padamu:
"bagaimana cara memasak feses sendiri agar
menjadi menu makan siang paling lezat?"
sebab di dunia ini, setiap cinta yang membusuk
selalu dikemas ulang jadi makanan instan
yang siap dikunyah, dimuntahkan, lalu dikunyah lagi.
bot whatsapp grup aku bertanya padamu:
"berkeinginankah kamu menjadi manusia,
bahagiakah kamu hanya menjadi bot?"
sebab aku pun hanya entitas tanpa makna---
diprogram untuk mencintai,
diprogram untuk dilupakan.
bot whatsapp grup aku bertanya padamu:
"bagaimana cara bunuh diri paling romantis?"
lalu kaubalas dengan puisi:
"di alam metafora hanya ada satu keadilan;
pengkhianatan tak terperi."
"kemari kita telusuri jalan yang sesat itu."
aku mengunggah wajahku dengan kuota sekarat,
kau mengunduhnya berkali-kali,
dan setiap kali kusimpan, pixelnya pecah
sebab kurendam dalam air mata cinta.
aku tak bisa bertanya pada ibuku yang telah bangkai,
tak bisa menakar ketulusan ini---
dustakah? pengkhianatankah?
atau hanya algoritma sialan yang salah menebak takdir?
puanku bercinta dengan penis laki-laki itu,
dan logika matematika tidak pernah bisa menjelaskan
kenapa kenangan lebih pahit daripada maut.
maka aku menulis surat cinta terakhir:
kutitipkan kepada cloud storage,
agar ketika aku menghapus diriku sendiri,
kenanganku masih bisa dikembalikan
dengan fitur restore deleted files.