Lihat ke Halaman Asli

M Sanantara

Art Modeling

Puisi: Retina yang Lelah

Diperbarui: 31 Januari 2025   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pexels/Vlada Karpovich

Segala yang mengeras, akhirnya melunak.  
Ayah, kalimat utuh---  
subjek, predikat, objek, keterangan.  
Tapi aku hanya kata sambung,  
tak pernah selesai dalam jedamu.  

Anak kesunyian:

Mata Ayah, hitam putih.  
Tubuhku, pelangi.  
Aku warna yang kau eja,  
tapi tak pernah kau baca.

Ayah kesunyian:

Hitam putih adalah hukum.  
Silau tak melukai,  
pelangi terlalu nyala---  
retinaku terbakar,  
menjadi selembar abu. 

Anak kesunyian:

Mataku, miliaran warna.  
Tatapmu, batu.  
Bagaimana aku bisa masuk  
jika pintumu adalah dinding?  

Ayah kesunyian:

Cahaya letih.  
Aku, asing sebelum asing.  
Waktu lupa menaruhku di mana.  

Anak kesunyian:

Mata Ayah, lantai jatuh?  
Pelangi, menguap dalam selimut malam.  
Aku melayang,  
tapi tak tahu apakah aku terbang  
atau sekadar hanyut.  

Ayah kesunyian:

Kesempatan tertutup.  
Selama mungkin.  
Kamu warna,  
bukan warnaku.  
Benar, bukan?  
Mata-mata lain menutup diri,  
seperti aku menutup mataku.  

Anak kesunyian:

Ayah, boleh aku menjadi emosi?  
Menjadi kata yang tak hanya dibaca  
tapi juga diucapkan?  
Pelangi di tubuhku,  
sayap menjemput.  

Ayah kesunyian:

Aku menunggu.  
Panggungmu sudah ada.  
Tarianmu akan memeluk  
hitam putihku,  
selama mungkin.  
Pelangimu,  
menatap mata Ayah, nak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline