Dilansir dari kompas.com, seorang pensiunan pegawai negeri sipil di Tapanuli Selatan menjadi korban tindak kriminal karena pelaku sakit hati atas pertanyaan yang terus-menerus mengenai status pernikahannya. Kisah ini menunjukkan betapa kuatnya tekanan sosial yang bisa berujung pada konflik yang tidak diinginkan. Pertanyaan seperti "Kapan menikah?" sering kali menjadi beban yang berat bagi mereka yang memilih atau belum menemukan pasangan hidup.
Manusia sering terjebak dalam narasi universal bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih melalui hubungan romantis. Namun, apakah benar demikian? Perlukah ditujukan sebagai konfirmasi bagi para pria dan wanita yang berpendek akal sekaligus berpanjang hasrat seksual? Apakah status single harus selalu dianggap sebagai kekurangan? ataukah justru, sebagai ruang kontemplasi untuk memahami diri sendiri?
1. Single: Jalan Sunyi Penuh Arti
Status single bukanlah sekadar keadaan; ia adalah perjalanan yang penuh misteri, seperti mendaki gunung dalam kabut tebal, di mana setiap langkah membuka pemandangan baru yang tak terduga. Dalam sunyinya, kita dihadapkan pada refleksi diri. Seperti seorang pengelana di gurun yang mencari oasis, menjadi single memberikan kesempatan untuk menemukan sumber kebahagiaan sejati, bukan dari luar, tetapi dari dalam. Bayangkan seorang pelukis yang menatap kanvas kosong: setiap sapuan kuas adalah momen untuk merangkai makna hidup yang autentik.
2. Tekanan Sosial: Cermin yang Memantulkan Ekspektasi
Masyarakat sering kali menjadi cermin yang memantulkan ekspektasi, seperti seorang teman yang tanpa sadar menilai hidup kita berdasarkan standar mereka sendiri. Misalnya, ada kisah seorang wanita yang sering menerima pertanyaan, "Kapan punya anak?" di setiap acara keluarga. Pertanyaan ini memaksanya untuk merenung dan menyadari bahwa kebahagiaannya tidak dapat diukur oleh ekspektasi orang lain, melainkan oleh perjalanan yang ia ciptakan sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menjadi bayangan yang mencekam, menusuk inti jantung yang sangat letih memompa darah sendirian, seolah kebahagiaan adalah tujuan kolektif, bukan perjalanan personal. Seorang pria yang memilih untuk tetap single sering dianggap "takut berkomitmen," padahal ia hanya sedang mendalami panggilan hidupnya sendiri. Tekanan seperti ini memerlukan keberanian untuk menyusun ulang narasi hidup kita, menolak stereotip, dan mendefinisikan kebahagiaan dengan cara yang paling bermakna bagi diri kita sendiri.
3 . Menyatu dengan Diri: Hikmah dari Kesendirian
Kesendirian adalah guru yang bijak. Seperti seorang pelaut yang berlayar tanpa teman di tengah lautan luas, ia memberikan kita waktu untuk mendengar bisikan hati yang sering terabaikan. Contohnya, ada seorang seniman yang menemukan inspirasinya justru saat memilih hidup tanpa pasangan; ia belajar memahami emosi terdalamnya dan menciptakan karya-karya yang abadi dari pengalaman tersebut. Kesendirian mengajarkan:
- Kemandirian Eksistensial: Dalam kebebasan, kita belajar berdiri tegak tanpa tongkat penyangga dari orang lain.
- Koneksi Mendalam dengan Diri: Seperti daun yang meresapi cahaya matahari, kita mengenali emosi, hasrat, dan tujuan hidup kita sendiri.
- Kebebasan untuk Bermimpi: Menjadi single adalah ruang tanpa batas untuk mengeksplorasi, bermimpi, dan merancang dunia yang kita inginkan.
Misalnya, seorang petualang yang melakukan perjalanan solo ke pegunungan tidak hanya menemukan tempat baru tetapi juga menemukan dirinya sendiri di setiap langkahnya. Saat ia menyalakan api unggun di malam hari yang sunyi, ia menyadari betapa luas dunia dalam dirinya.
4. Menghancurkan Ilusi
Dalam buku The Happiness Hypothesis, psikolog Jonathan Haidt menekankan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari keseimbangan batin, bukan dari hubungan eksternal.
Cinta romantis sering kali dikultuskan sebagai jalan menuju kebahagiaan. Namun, psikologi dan filsafat mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati adalah keadaan batin, bukan hasil dari relasi eksternal. Seperti cermin yang memantulkan cahaya, cinta kepada diri sendiri adalah sumber terang yang menerangi segalanya.
Seorang filsuf pernah berkata bahwa cinta sejati adalah menerima diri sendiri apa adanya. Saat kita berhenti mencari validasi dari luar, kita mulai menyadari bahwa kita adalah pusat dari kebahagiaan kita sendiri.