Lihat ke Halaman Asli

[ECR4] Genggam tanganku, jangan lepaskan.

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Romantisme

Mahar membeku. Darahnya tiba-tiba bagai mengental, berhenti mengaliri setiap inci tubuhnya. Bibirnya yang berpulas lipstik merah muda perlahan berubah warna menjadi pucat. Nampan berisi tumpukan roti yang baru saja ia keluarkan dari oven terlepas dari tangannya, berserakan dilantai.

"Kak Mahar... kak Mahar..!!!" Aya mengguncang bahu Mahar, mencoba menyadarkan Mahar dari kekakuan yang menyelimuti kakaknya itu. Mahar tersadar, menatap Aya yang masih mencengkeram bahunya dengan kuat.

"Sekarang Firman dimana Aya?!" pertanyaan pertama setelah Mahar mulai mampu menguasai diri. Ada genangan airmata yang tertahan dimata itu. Mahar berusaha sekuat tenaga menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Aya paham betul, kekhawatiran yang jelas terlihat mengartikan perasaan Mahar yang paling jujur.

"Dirumah Sakit Jantung Propinsi kak. Pak Yayok dan mas Hans yang membawanya dengan Ambulan."

"Kamu dapat berita ini dari siapa?" Mahar masih berharap Aya menyebut nama Bocing. Sebab jika Bocing yang menyampaikan berita, bisa dipastikan berita ini hanya gosip.

"Mommy kak... mas Firman pingsan dihalaman rumah Mommy pagi tadi, tapi Bocing juga ikut membantu mengangkat mas Firman ke ambulan." Luluhlah pertahanan Mahar demi mendengar nama Mommy di sebut Aya. Tak ada kebohongan, tak ada yang perlu diragukan lagi. Berita ini sudah pasti benar adanya. Hatinya tiba-tiba bergores perih. Firman, apa yang terjadi dengan mu? Setelah Aya pergi Mahar tak mampu menahan lebih lama, akhirnya airmata itu jatuh juga. Isak tertahan terdengar lirih di bibirnya. Kalut, bingung entah harus bagaimana. Akhirnya Mahar memutuskan untuk menutup tokonya, bergegas berangkat ke propinsi menjenguk Firman. Biarlah orang berkata apa, saat ini tak perlu memikirkannya. Mungkin saja disana Asih sudah merawat Firman, tapi Mahar merasa harus tetap memastikan hal itu. Saat memikirkan ini hatinya kembali perih. Sudahlah, jangan pikirkan dirimu saja. Bagaimana jika Asih tak ada di sana? Firman hidup sendiri di desa ini. Sedangkan mereka sudah cukup dekat satu sama lain. tak ada salahnya aku menjenguk, demi kepentingan Firman. Mahar mantap, menutup pintu toko dan berangkat dengan bis menuju rumah sakit propinsi.

*****

Sepanjang perjalanan di bis menuju propinsi ingatan Mahar kembali pada saat Firman kemarin datang membeli roti ke toko. Cukup banyak roti yang dibeli, namun tak banyak kata yang diucapakannya. Entah untuk siapa roti itu, jujur saja ada sedikit rasa cemburu yang dirasakan Mahar. Hanya ucapan Firman yang terngiang kembali di telinga Mahar. Saat Firman meminta agar Mahar segera membungkuskan roti2 pesanannya dengan cepat. "sebelum waktunya habis Mahar, bergegaslah." begitu tergesanya Firman, berlomba dengan waktu.  Apakah karena ingin bertemu Asih, atau pertanda ....... cepat Mahar membuang pikiran itu.

*****

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline