Langit desa kemerahan, pertanda senja datang menggantikan mentari yang sudah selesai bertugas menyinari desa yang cantik dan penuh romansa. Mahar masih duduk di beranda. Suara El mengumandangkan adzan dari masjid desa terdengar tegas, mengajak umat Islam di desa untuk segera menunaikan sholat Maghrib. Saat hendak beranjak masuk, seorang pria setengah baya lewat, memakai baju koko putih dan kopiah hitam berjalan tergesa. Mahar tak jelas, sepertinya bukan seseorang yang sudah dikenalnya. Pak RW Edi?? Bukan, karena pria ini terlihat lebih muda. Bocing? Bukanlah! Perawakannya jauh lebih gagah dibandingkan bocing yang kuyu dan mengkerut. Mas Hans juga bukan, sore tadi ke propinsi di panggil Gubernur yang rencananya minggu depan mau dolan ke desa. Karena tak berambut kribow, sudah bisa dipastikan laki-laki itu juga bukan mas Inin. Om Garong? Terlalu langsing, gak mungkin juga Om Garong diet. Beritanya gak ada di mading desa kok. Ki Dalang juga engga, masih sibuk di gunung nyari kumbang berkaki emas katanya. Rambut hitam yang menyembul dari belakang kopiah juga memastikan kalau dia bukan pak RT Ibay. Lalu siapa??? Mahar bertanya penasaran sambil berlalu ke dalam rumah.
*****
Sorenya di kios kripik Sekar...
"Eh, jeng Mahar sudah kenal mas Firman belum? sini kenalan dulu." Sekar si pengantin baru yang makin hari makin cerewet sore itu mengenalkan Mahar pada Firman. Laki-laki ini yang ku lihat kemarin, batin Mahar girang, langsung pasang senyum manis. Biasalah, janda tanpa anak yang getol nyari suami ini memang rada sok imut kalau liat pria2 rangkat yang terkenal romantis.
"Mahar, pemiilik toko roti Sedaf Manstaff. Silahkan mampir ke toko saya mas Firman, sebagai ucapan welkam ke desa saya kasih roti buaya gratis deh." Rayuan lapuk Mahar mulai dilancarkan saat menerima jabat tangan Firman.
" Firman, bukan siapa-siapa tapi bisa apa-apa." Jawaban diplomatis yang sedikit lebay malah membuat Mahar tertawa lebar. Gak sadar kalau ada serpihan cabe yang nempel di gigi. Sekar yang melihat langsung ngasi kode Mahar buat tutup mulut dengan tangan. Untunglah Mahar tanggap. Firman yang melihat hanya tersenyum ringan. Setelah ngobrol sebentar, Firman pamit pulang.
"Sekar, Firman ganteng juga yah." tanpa basabasi Mahar memuji Firman di hadapan Sekar.
"Trus jeng Mahar naksir nih?? Aduuuhhh... Mahar kamu tuh ya semua penampakan yang berjenis kelamin pria pasti di taksir. Tentukan pilihan dong jeng. Masak mau borongan?" Sekar ngomel panjang x lebar = luas.
"Lagi pula jangan berharap banyak terhadap mas Firman. Sudah ada yang punya!" Lanjut Sekar sambil berlalu kedalam mengambil stok kripik jengkol.
"Siapa yang punya Sekar?" Mahar penasaran.
"Begini Jeng. Dulunya mas Firman itu nikah sama Acik. Tapi kemudian mereka bercerai. Kemudian berita yang beredar mas Firman hendak menikah dengan Umi Rere. Tapi gak jelas jadi atau tidak. Yang pasti kembalinya mas Firman ke desa katanya karena ingin mencari wanita yang benar2 ia cintai. Siapa wanita itu sih belum jelas juga. Mungkin saja Acik, berhubung Acik kan mau cerai dari mas Halim. CLBK gitu" Sekar menjelaskan dengan sungguh-sungguh.