Setelah melepas kepergian Bocing yang menurut desas desus nekat merantau ke negeri Jin dengan tujuan meningkatkan ilmu ke santetan, Mahar kembali beraktifitas seperti biasanya. Kali ini perasaan Mahar tak galau seperti saat kepergian pertama Bocing. Mahar sudah kenal betul Bocing yang suka sesumbar. Mahar kapok, tak mau tertipu ulah Bocing yang sudah banyak memakan korban. Yakin sekali si Bocing gak akan pergi lama, paling bertahan cuma dua hari. Dan benarlah apa yang di perkirakan Mahar, besoknya...
"Mahaaaaaaaaaarrr..... I'm comiiiinggg.." teriakan melengking Bocing menghebohkan suasana jalanan di depan toko roti Mahar. Di depan nampaklah Bocing yang sotoy dengan motor dekil en dekumal nya yang melegenda. Gaya Bocing sungguh membuat Mahar bengong. Celana super mini motif bunga matahari berwarna kuning mirip warna salah satu partai, kaos oblong merah (yang juga mirip partai tandingan partai berwarna kuning tadi, hallah ribet!) yang bertuliskan “Sweet Maharani”, sepatu boot kulit robek di segala arah, plus kacamata hitam model capung membuat Bocing terlihat kembaran dengan serangga Tomcat. Mahar cemberut, Bocing bakal bikin horor lagi.
"Hem, ngapain lu balik? Kemaren katanya mau minggat untuk selamanya?" Mahar bertanya ketus.
"Anu.. anu.. dompetku hilang Har.." Bocing menjawab gagap.
"Dompet? Emang dompetlu isinya berapa?"
"Lima ribu Mahar... eh, tapi bukan masalah uangnya. Di dompetku itu ada fotomu.." Bocing tertunduk lesu.
“Apa??!!! Kamu dapat dari mana foto ku? “ Mahar kaget setengah mati. Bocing lebih kaget lagi mendengar teriakan Mahar yang membahana.
"Iya... itu.. itu..." Bocing gugup, ada kengerian di wajahnya.
"Dapat dari mana?" Mahar mencecar, merenggut krah Bocing siap melayangkan jotosan ke wajah ‘seadanya’ Bocing yang semakin pasi.
"Dari.. dari.. foto dokumentasi di balai desa. Kemaren aku curi." Akhirnya Bocing mengaku. Lemas sekujur tubuhnya melihat amukan Mahar.
“Bociiiiiiiiiiiiiiiiinggg… pasti maksud mu aku mau dijadikan korban pertama ilmu santet lu ya???!!!”
Mahar mencak-mencak gak karuan. Emosi sudah sampai di ubun-ubun, Bocing mengangguk ketakutan, benar-benar tak berdaya menghadapi badai amukan Mahar.