Lihat ke Halaman Asli

Sang 'Legenda Sotoy'

Diperbarui: 14 Juli 2015   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mulut terbuka, iler yang menganak sungai  dan senyum yang tersungging di wajah cumi Bocing yang tertidur di Pos Ronda memancing keisengan El Hida. Dicabutnya sehelai bulu kemoceng Dorma yang tersangkut di tiang saung pos ronda, lalu mulai menggelitik hidung Bocing yang berbentuk seadanya.

“Hahattschhiiii…” Mata bocing terbelalak. Kaget bercampur bingung terpancar diwajah kucelnya.

“Mahar.. mana Mahar..?” Bocing bertanya garang dengan mata melotot kea rah El Hida yang cengengesan.

“Mahar gundulmu! Makanya sebelum tidur di pos permisi dulu sama Dorma. Jangan  seenaknya aja numpang tidur ga bayar. Dasar kere!” El tak kalah sengitnya, masih dendam atas ulah bocing yang selalu meragukan kelelakiannya.

“Hahhh?? Jadi… jadi.. aku Cuma mimpi ya El? Arrgghh..!! elu juga sih, ngapain bangunin aku. Jadi buyar  semua mimpi indahku! Padahal Mahar sudah setuju menerima lamaranku tanpa syarat sekoper dolar!” Sahut Bocing kesal mengenang mimpinya yang terputus.

"Hahahaaa…. Itu mah ga bakalan terjadi cing, sekarang posisimu terancam. Tuh Mahar sedang dekat dengan seseorang .” El manas-manasin Bocing menyebabkan kuping nya berasap. El kaget melihat akibat kata-katanya, dan langsung ngibrit menyelamatkan diri.

Bocing tercenung, ternyata tadi dia hanya bermimpi. Dan kenyataan pahit baru saja didengarnya. Mahar dekat dengan seseorang? Siapa gerangan laki-laki nekat itu. Bocing terlihat semakin emosi. Kali ini asap keluar dari hidung yang berbentuk seadanya, mirip lokomotip tenaga api yang sedang ngebut. Ini tak bisa dibiarkan, tekadnya bulat sebulat onde-onde bikinan Mommy.

=============

Mahar bernyanyi-nyanyi kecil. Hari ini perasaan gembira memenuhi hatinya. Pesanan roti terus meningkat, kesibukan benar-benar menyita waktunya beberapa hari belakangan ini. Membuat jeng Mahar tak sempat ke kios Sekar untuk menyampaikan terima kasih atas kiriman foto kemaren. Meski Bocing tak juga jera, Mahar sudah punya senjata ampuh mengatasi Bocing. Saat laki-laki itu kembali bikin ulah, Mahar cukup mengancamnya dengan pisau cukur. Dijamin Bocing lari terbirit-birit takut bulu keteknya di plontos.

Matahari siang ini bersinar terik. Jus  sotobeli menerbitkan selera Mahar. Bergegas Mahar menuju kebun sotobelinya Ve, berharap hari ini ada sotobeli yang ranum siap dipanen. Saat melangkah keluar pintu toko, tiba-tiba datang Bocing yang langsung memayungi Mahar.

“Mahar, Bocing payungin ya, biar kamu gak kepanasan.” Bocing mengikuti langkah Mahar dengan payung motif Doraemonnya. Mahar pasang muka masam, tapi Bocing tetap tak bergeming, mengringi langkah pujaan hatinya. Mahar menyerah, membiarkan Bocing memayunginya.

Lama keduanya terdiam. Bocing terlihat kelu, kesulitan merangkai kata. Mahar, meski tak manyun lagi, namun sisa-sisa kekesalan masih terlihat di wajahnya.

“Mahar… aku mau bicara.” Bocing memecah kebisuan.

“Perasaan dari bulan lalu kamu bicara terus Cing. Ga pake permisi segala. Mau Ngomong apa?” Mahar menyahut malas-malasan. Melirik sekilas Bocing yang terlihat serius. Sedetik hati Mahar terkesima. Tak pernah sebelumnya melihat ekspresi Bocing seperti ini.

“Mahar.. aku sungguh-sungguh ingin menikah denganmu. Aku tau, gak akan pernah sanggup memenuhi syarat yang kau ajukan. Bukannya aku tak mencoba, kau tau sendiri kan? Selama di Negeri Paman Sam(sudin), banyak petaka yang menimpa diriku. Semua kulakukan demi memenuhi syarat yang kau ajukan. Tapia apa daya, aku tetap saja  di usir. Padahal sudah ku jelas kan pada petugas-petugas itu tujuan ku datang ke sana. Masalah nya mereka gak ngerti apa yang ku katakan Mahar.” Curhat  Bocing pada Mahar.

“Kok gak ngerti, memangnya kamu pake bahasa apa Cing?”

“Bahasa tubuh Mahar, aku kan ga bisa Inggris.” Malu-malu Bocing melirik Mahar. Yang dilirik langsung melengos, kesal tingkat akut.

“Mahar, memang bocing tak setampan Aa Kades, gak trendy kayak Inin Kribow, juga ga berpendidikan tinggi seperti kepsek Riyadi. Tapi Bocing juga ga kalah jauh kok dari mereka. Kalau Aa Kades Hans punya mobil antik, Bocing juga punya motor karatan yang jauh lebih antic. Inin yang trendy dengan kribownya, aku juga punya ketek kribow yang melegenda. Meski gak sekolah tinggi, Bocing jago ngajarin anak-anak nyelam. Dan yang terpenting  Bocing gak botak seperti pak RW Ibay. Kurang apa lagi Mahaaaaaarrr???” Bocing promosi besar-besaran. Mahar melirik sekilas, semakin yakin kalau Bocing ada kelainan.

Begitulah, dari hari kehari Bocing terus berupaya mendekati Mahar. Gak pagi, gak siang terus mencoba segala cara. Tak terasa sebulan sudah Bocing berusaha, namun belum juga membuahkan hasil yang diinginkannya. Akhirnya Bocing menyerah. Hatinya pilu, cinta sejatinya ternyata tak mendapat respon. Bocing memutuskan untuk kembali berpetualang. Besok ia bermaksud ke rumah Mahar untuk yang terakhir kalinya…..

======

“Salamlekom… “ Salam terucap dibalik pintu rumah Mahar selepas Isya malam ini.

“Alaikumsalam…. Sebentar ya.” Mahar menyahut dari dalam rumah. Siapa gerangan tamunya, malam-malam begini biasanya Mahar jarang kedatangan tamu. Lalu ia bergegas membuka pintu, Bocing berdiri kuyu. Mahar terkejut, hatinya berdesir. Sudah seminggu ini Bocing tak mengganggu hidupnya. Saat melihat tubuh Bocing yang kurus dan wajahnya yang lesu, Mahar merasa bersalah.

“Bocing… mari duduk dulu. Sebentar ya Mahar ambilin minuman.” Mahar mempersilahkan Bocing masuk sambil berbalik ke dalam rumah. Lima menit kemudian kembali dengan beragam penganan di nampan, sekilas Mahar menangkap binar  penuh selera di mata Bocing. Mahar menahan senyum, ada haru di balik hatinya. Bagaimanapun tengilnya Bocing, sejujurnya Mahar tak pernah merasa disakiti Bocing, yang sesungguhnya berhati baik.

“Makan dulu cing, ini menu baru dari toko roti ku.”

“Makasih Mahar… kamu memang peka terhadap situasi sekitarmu.” Tanpa basa basi Bocing langsung menyantap penganan yang terhidang di depan matanya. Lapar berat, itulah kesimpulan Mahar demi melihat kalapnya Bocing melahap semua makanan.

“Eeehhhggghhh….” Akhirnya setelah semua ludes, Bocing berhenti. Tapi wajah Bocing kembali kuyu saat menatap Mahar. Ada luka dimatanya. Mahar tak mampu memandang Bocing. Perasaan aneh menyelinap di benaknya.

“Mahar….. aku mau pamit. Besok, pagi-pagi sekali aku berangkat.” Suara Bocing lirih, tak seperti biasanya, Lagi-lagi Mahar terkejut. Bocing pergi? Kemana?

“Kamu mau kemana cing?” Tanya Mahar penuh perhatian.

“Entahlah Har, aku belum tau. Tapi sepertinya tak ada guna berlama-lama di sini.”

“Kau pernah bilang, desa ini bikin kamu senang. Kok sekarang malah ingin pergi?”

“Benar, disini aku bahagia, tapi dekatmu menyakitkan hatiku. Karena kau tak menerima cintaku.” Mata Bocing berkaca-kaca. Mahar terkejut. Tak menyangka Bocing sesedih ini.

“Cing, maafin Mahar. Jangan sedih cing. Mahar ga bermaksud nyakiti kamu. Hanya saja….” Mahar tercekat, tak mampu meneruskan kata-katanya.

"Maaf Mahar aku telah mengganggumu. Merusak ketenanganmu. Aku hanya merasa benar-benar jatuh cinta. Cinta yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Cinta sejatiku.” Airmata bocing menetes. Cepat  Bocing menghapusnya, takut dilihat Mahar. Tapi terlambat, Mahar sudah melihatnya.

Malam itu Mahar tak bisa tidur. Kisah syahdu yang telah terjadi membuat hatinya gelisah. Kata-kata Bocing yang mengatakan bahwa Mahar adalah cinta sejatinya terngiang-ngiang ditelinga. Benarkah Bocing tak berbohong? Keputusan Bocing untuk berpetualang mengganggu Mahar. Jika Bocing tak berbohong, artinya dia pergi karena merasa sakit. Mahar tak bermaksud seperti itu. Syarat yang diajukannya pada Bocing sebenarnya hanyalah upaya agar Bocing tak berharap. Mahar sengaja agar Bocing menganggapnya seorang perempuan matre, lalu pergi menjauh darinya.  Biarlah, karena hanya itu satu-satunya jalan agar Bocing tak lebih kecewa nantinya. Maafkan Mahar cing,.... air mata menetes dipipi Mahar.

=====

Pagi ini terasa suram. Mahar yang tak tidur semalaman terlihat muram. Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Hmm.. Bocing tentunya sudah pergi. Batin Mahar berbisik sendu. Rasa tak nyaman semakin nyata mendera. Kepergian Bocing karena kecewa padanya menjadi beban yang sangat berat. Dibayangkannya Bocing yang berangkat dengan wajah tertunduk sedih, membawa ransel dipunggung dan uang seadanya dikantong. Meski Bocing terkenal se enaknya, tapi Mahar tau bahwa warga Rangkat sangat menyayanginya. Apa yang akan dikatakan Mahar nantinya jika ada yang tau penyebab kepergian Bocing adalah dirinya. Selagi kalut dan bingung, tiba-tiba melintas sepeda motor yang suara knalpotnya tak asing ditelinga Mahar.

“Treteett..treteeett..treteettt…..” bunyi klakson  itu.. apakah mungkin…Mahar menoleh penasaran. Dijalan melintaslah si Bocing menggonceng mesra Kayana, warga baru yang pindah kemaren sore. Kayana memeluk erat pinggang Bocing yang tersenyum bahagia dengan hidung kembang kempis. Bayangan wajah kuyu dan airmata Bocing malam tadi hilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun!

Bociiiiiiiiiiiiiiiiiinggggg….!! Dasar gak normal. Baru tadi malam bilang terluka karena cinta ditolak, bilang mau pergi segala, eh pagi-pagi udah gandeng cewek lain. Mahar sewot dan kekhi. Capek-capek ga tidur mikirin Bocing, ternayata yang dipikirin asik-asikan pacaran. AAAArrrgggghhhhh!!!! Memang pantas Bocing disebut-sebut sang Legenda, Legenda sontoloyo!!! tak kan pernah ku terima cinta palsu mu!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline