Lihat ke Halaman Asli

Mahameru Sdw

Cicurug, Sukabumi

Mengkritisi Realitas, Pendidikan yang Mahal, dan Memedomani Perjuangan Nabi

Diperbarui: 24 Agustus 2022   02:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bab 1
Pendahuluan

Kita sering mendengar suatu peryataan yang kalimatnya tidak jauh seperti, "dunia itu memang sejatinya seperti ini". Kalimat tersebut mungkin akan menjadi benar jika ditujukan pada hal-hal yang bersifat elementer, seperti api jika disentuh akan menimbulkan rasa panas, air kelapa dingin jika diteguk maka akan menimbulkan rasa sejuk di kerongkongan—apalagi jika diminum usai kegiatan olah fisik yang melelahkan. 

Akan tetapi, apa jadinya jika peryataan tersebut ditujukan pada sistem yang sifatnya intersubjektif (mengamini suatu kebenaran yang sebenarnya dibuat atau diciptakan hingga disepakati oleh manusia itu sendiri), seperti uang yang tidak mempunyai nilai inheren pada dirinya (tidak mempunyai nilai ekslusif atas dirinya sendiri yang berguna untuk tubuh manusia, mudahnya uang tidak bisa dimakan atau diminum, sehingga bernilai atau tidaknya uang bergantung pada nilai yang ditetapkan oleh manusia itu sendiri), begitu pula dengan berbagai macam bentuk intersubyektifitas yang lain; seperti kasus mahalnya biaya pendidikan yang akan saya jadikan sebagai contoh atas realitas intersubyektif yang perlu dipertanyakan.

Bab 2
Komersialisasi Pendidikan

Mahalnya biaya pendidikan telah menjadi fenomena lumrah di tanah air ini, sudah tentu dampak atas kemahalannya ini lebih meruncing pada masyarakat kelas bawah, tidak sulit untuk menemukan beberapa keluarga yang rela menjual atau menggadaikan aset pokoknya (seperti sawah), ada pula yang mengajukan pinjaman (dengan kegelisahan atas ketidak pastian entah bisa melunasi atau tidsk), hingga rela menyempitkan kebutuhan dasar (seperti makan, minum, dsb) demi mewujudkan cita menjadi seseorang yang terpelajar.

Masyarakat tidak mampu, mau tidak mau perlu memaksakan untuk meningkatan taraf pendidikan mereka (minimal salah satu anggota keluarganya bisa mencapai hal itu) mengapa? salah satu alasan (pragmatisnya) yaitu karena pendidikan kini menjadi syarat kualifikasi agar bisa diterima kerja di kebanyakan perusahaan swasta maupun negeri, beberapa saya temui syarat pendidikan terakhir yang diperlukan (minimal) D3, hal inilah yang menjadi pecutan bagi masyarakat.

Dalam istilah Jawa ada suatu kalimat yang saya kira penting untuk dijadikan sebagai landasan dasar kehidupan yaitu "Roso ngrumangsani" yang artinya adalah mencoba untuk membayangkan diri kita berada di posisi orang lain, mari kita gunakan landasan tersebut saat ini.  Bayangkan dirimu sedang dilanda kecemasan dalam kebutuhan pokok (makan, minum, berpakaian dll) sedangkan disatu sisi kebutuhan pendidikan makin hari menjadi makin krusial sehingga menjadi suatu keharusan untuk menggapainya, maka biasanya hanya ada dua pilihan yang ditawarkan pada posisi ini; (1) membodoamatkan pendidikan demi kestabilan kebutuhan sehari - hari, namun jika pilihan pertama masa depan lah yang menjadi taruhannya, (2) bertaruh untuk memenuhi pendidikan demi beradaptasi pada zaman, yang konsekuensinya (sebagai masyarakat miskin) adalah mau tidak mau perlu beberapa kali puasa atau mengurangi kebutuhan lain demi mewujudkan pilihan tersebut—walaupun masih tetap ada banyak orang yang tidak mendapatkan varian pilihan kedua, sehingga mau tidak mau mereka hanya bisa memilih pada pilihan pertama, dan beberapa lagi walaupun bisa memilih pilihan kedua tetap saja si anggota keluarga yang dipercayakan untuk melanjutkan pendidikan tidak bisa fokus pada pendidikannya, fokus orang tersebut mungkin akan terbagi pada rasa bersalah karena bukannya membantu keluarga malah membebani keluarganya, rasa bersalah ini sedikit banyaknya akan berdampak pada aktivitas belajar orang tersebut. 

Kembali pada tema pembahasan mengenai "realita" apakah fenomena semacam ini (pendidikan yang mahal) merupakan fenomena yang sedari dulunya sudah seperti ini, atau hal tersebut terjadi oleh sebab akibat material (bukan takdir, melainkan disebabkan oleh salah satu makhluk material itu sendiri yaitu manusia).

Paradigma material atas mahalnya biaya pendidikan

Bentuk argumen determinisme (seperti menyalahkan semuanya pada takdir atau semacamnya) cenderung berakhir pada kepasrahan yang sifatnya malah kontra-produktif, "pendidikan memang ditakdirkan untuk mahal atau sedari dulunya mahal" kalimat tersebut merupakan contoh atas argumen determinisme. 

Jika kita menggunakan paradigma materialisme maka biasanya yang timbul pertama kali adalah pertanyaan² atas realitas itu terlebih dahulu, seperti "mengapa pendidikan bisa mahal ya?, apakah semenjak zaman dulu pendidikan memang mahal?, atau ada seseorang atau beberapa orang yang merekayasa sistem pendidikan untuk dijadikan sebagai ajang komersialisasi atau kapitalisasi agar bisa meraih keuntungan finansial dari pendidikan?. jika memang seperti itu, siapa yang mempunyai wewenang atas terjadinya semua ini?, apakah pemerintah? sebab kita hidup di suatu sistem sosial bernama negara yang dimana kebijakan atau aturan biasanya di gulirkan oleh pemerintah." begitulah contoh paradigma materialisme yang intinya yaitu lebih menyibukkan diri pada pencarian hubungan kausalitas material atas realitas atau fenomena yang terjadi di dunia, sehingga kita tidak melulu menyalahkan sang Maha atas segala sesuatu yang terjadi, melainkan mencari akar sebab materialnya dan berusaha menyingkirkannya dengan bentuk material pula.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline