Lihat ke Halaman Asli

Ceritaku Tentang Jakarta

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Mas, sebagian rezekinya Mas. Kasian, anak saya belum makan dari kemarin.” Kata seorang wanita tua, dengan selendang yang mengitari tubuhnya. Anaknya terlihat begitu kusam, kurus, dan benar-benar tak terurus. Aku sedikit bingung. Kalau aku memberikan uang yang ada, aku tidak bisa pulang, kalau tidak memberi, kasian mereka. Ah, sudahlah. Aku berjalan lurus tanpa memperhatikan omongannya. Pikirku, semua pengemis yang ada di sepanjang jembatan ini pun sama.

Terik matahari semakin menyengat, asap-asap kendaraan semakin bersahabat saja dengan bau sampah dan debu jalanan. Sampai kapan Jakarta bisa rapih, aku membatin. Di sebuah terminal dekat dengan kampus, seorang tukang koran berteriak lantang menawarkan koran yang mungkin tak layak dibaca, karena seharusnya koran sudah ada dari sejak pagi.

“Koran, Pak. Akhirnya kedok para pejabat pelan-pelan mulai keliatan, karena adanya KPK.” Teriaknya sambil membenarkan letak handuk di lehernya.

Apa hanya itu yang wartawan bisa sajikan di koran-koran. Penjahat, perampok, penjilat, peledakan bom, korupsi, sampai perceraian para artis pun disajikan. Beberapa hari yang lalu, dosenku memberikan bahan tentang banyaknya permasalahan antara wartawan dengan apa yang disajikannya. Dengan santai kucoba menjelaskan, bahwa wartawan memang seperti itu. Kalau tidak dengan berita-berita yang seperti itu, perusahaannya tidak bisa mengais untung yang besar. Toh sekarang masyarakat Indonesia lagi senang mendalami ilmu perkorupsian, dan lain sebagainya. Para mahasiswa tertawa, tapi tidak dengan dosenku. Dia malah membalikkan pernyataanku dengan sebuah pertanyaan yang begitu mengikat.

“Darimana kamu bisa tahu semua itu? Ada bukti yang kuat?” Tanyanya.

“Coba saja sekarang bapak perhatikan, tidak usah semua masyarakat yang ada di sini. Bapak sendiri saja, kalau mendengar hal pembunuhan, atau perampokan, bagaimana perasaan Bapak? Akankah tertarik untuk menyimaknya?” Aku membalik pertanyaannya dengan pertanyaan. Aku tidak mau dibilang bodoh dalam diskusi.

Laki-laki berkumis tebal itu diam, dan langsung memintaku untuk kembali duduk. Mungkin dia juga sependapat denganku, tidak mau dibilang bodoh dalam diskusi. Dosen yang jujur.

Kini aku berpindah dari terminal ke sebuah bis kota, dari sepi menuju sesak, dari jenuh menjadi stres, dari santai menjadi waspada, maklum di bis kota rawan copet. Baru saja aku memikirkan hal yang tidak-tidak, seorang wanita muda berteriak lantang.

“Copet! Tas saya dicopet! Tolong!”

Hanya sebagian orang yang memperhatikan teriakannya. Itupun bukan karena ingin menolong, hanya ingin punya kesempatan bisa bicara dengan wanita secantik dia.

“Mana copetnya, Mbak?” Tanya seorang laki-laki berkacamata, umurnya bisa ditaksir sekitar 40-an.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline