[caption caption="Adu kuda, salah satu atraksi permainan rakyat di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara/Sumber foto: kratonpedia.com"][/caption]Buku merupakan sumber informasi dengan nilai dokumentatif sangat tinggi. Begitulah yang baru saya rasakan usai membaca buku lama terjemahan peneliti Rene van den Berg, berjudul: Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna, penerbit Artha Wacana Press, Kupang, NTT, tahun 2001.
Cover buku sudah lepas dari isinya. Bahkan kulit belakang yang memuat bio data singkat penulisnya telah pupus sulit terbaca. Tapi inilah satu-satunya di antara sejumlah buku menyangkut Sejarah dan Kebudayaan yang saya simak dari rak koleksi buku Sejarah dan Sastra di Perpustakaan Umum Kota Makassar, memuat informasi yang saya cari. Yaitu, untuk mengetahui adakah masyarakat adat di wilayah nusantara dahulu telah mengenal atau pernah menerapkan sanksi hukuman mati terhadap para pelaku kejahatan (?)
Ternyata, masyarakat adat jauh sebelum Indonesia merdeka di Pulau Muna sudah pernah memiliki perangkat peradilan dan menerapkan sanksi hukuman mati.
Buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna setebal 260 halaman tersebut, menurut catatan penerjemahnya,Rene van den Berg, aslinya ditulis dalam bentuk jurnal berbahasa Belanda oleh Jules Couvreur. Diterbitkan tahun 1935 di Den Haag, Belanda, dengan judul Ethnografisch overzicha van Moena (Ikhtisar Etnografis mengenai Muna). Isinya terbagi atas 27 Bab.
Penulisnya mantan Penguasa Pemerintahan dalam Negeri di Muna (Gezaghebber BB van Muna) – setingkat bupati, di masa pemerintahan kolonial tahun 1933 – 1935. Pria kelahiran negeri Belanda tahun 1900 yang gagal menggapai cita-citanya menjadi polisi, ditugaskan ke Sumatera Barat sejak tahun 1926, lalu ke Muna. Kemudian dipindahkan ke Parepare, Sulawesi Selatan. Tahun 1938 – 1942 bertugas mengurusi masalah pemerintahan dan pengadilan di kota Makassar. Pindah bertugas menjadi Asisten Residen (setingkat Wakil Gubernur) di Timor dengan wilayah kerja meliputi kota Kupang dan Sumbawa. Dia wafat dalam usia 71 tahun di Den Haag.
Dalam bukunya, Jules Couvreur memapar, antara lain, pernah ada semacam Dewan Peradilan dengan sejumlah ketentuan hukum berlaku dalam masyarakat adat di wilayah Muna, jauh sebelum pemerintahan kolonial belanda masuk ke Muna tahun 1906. Buku tersebut ditulis ditopang referensi catatan lama dalam Laporan Serah Terima (Memorie van Overgave) dari Gortman yang sebelumnya pernah bertugas tahun 1919 hingga 1923 sebagai Penguasa Militer di Muna. Dalam banyak catatan, J Couvreur mengenalkan orang-orang narasumber bukunya yang masih hidup (hingga 1935), merasakan suasana ketika berlaku sistem peradilan dengan sanksi hukuman mati di Muna.
Muna, nama sebuah pulau, bekas kerajaan, etnik, dan kini merupakan kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayahnya pun barusan dimekarkan menjadi dua kabupaten, yakni kabupaten Muna (induk), dan kabupaten Muna Barat (pemekaran).
[caption caption="Buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna, koleksi Perpustakaan Umum Kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa"]
[/caption]
[caption caption="Lembaran Kata Pengantar dari penulis Jules Couvraur/Ft: Mahaji Noesa"]
[/caption]
Dalam kata pengantar J Couvreur yang ditulis di Raha, Maret 1935, menyatakan, Muna yang dimaksud dalam bukunya meliputi penduduk distrik (setingkat kecamatan) Tongkuno, Lawa, Kabawo, dan Katobu. Namun begitu, uraian-uraian tentang Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna didalamnya dinilai mewakili catatan kondisi Muna tempo dulu. Sehingga, pemerintah kabupaten Muna saat dipimpin Bupati Muna Ridwan BAE, menganggap penting ikut mendorong upaya penerjemahan serta diterbitkannya buku karya J Couvreur dari bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia, tahun 2001.
Ikhwal Peradilan (Bab 24), antara lain, mengurai model perangkat peradilan serta sejumlah sanksi hukum yang diterapkan berkaitan dengan pelanggaran pidana maupun perdata. Peradilan adat di Muna tempo dulu memiliki sejumlah hakim. Masing-masing, disebut dengan Syarat Muna (1), sebagai majelis pengadilan yang terdiri atas Ketua Bhonto Balano (menteri besar), 4 Goerano (kepala distrik) sebagai anggota, dan Mustarano Bhitara (menteri penerangan) sebagai Jaksa.