Lihat ke Halaman Asli

Mahaji Noesa

TERVERIFIKASI

Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

Mengekor Ambulance Larut Malam

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13461176222024056678

Melakukan perjalanan antardaerah ratusan kilometer menggunakan sepeda motor terasa asyik dan menegangkan. Rasa asyiknya lantaran pengendara sepeda motor dapat berhenti atau mengarahkan perjalanannya melalui jalanan-jalanan setapak sekalipun. Termasuk dapat menikmati lebih detil lanskap serta aktivitas kehidupan masyarakat yang dilintasi melalui pengaturan tinggi rendahnya putaran gas dalam genggaman. Tegangnya, antara lain, apabila melintasi jalanan panjang tanpa pemukiman. Kecemasan terutama terhadap ban motor apabila tiba-tiba saja mengalami kebocoran dan mengempis. [caption id="attachment_195518" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Sumber: salf7.com - google"][/caption] Pengalaman selama kurang lebih 3 tahun menggunakan sepeda motor jenis motor bebek (110 cc) berkeliling laksanakan urusan antardaerah di Provinsi Sulawesi Selatan, paling repot jika ban motor pecah atau kempis di jalur tak berpenghuni. Peristiwa pecah ban dalam perjalanan di tempat lengang manusia seperti itu pernah terjadi suatu waktu di siang terik. Untung saja risikonya hanya harus mendorong motor sejauh lebih 5 km ke tempat tambal ban (press ban). Selain pemeriksaan kondisi accu, busi, oli, rem, dan lampu. Kondisi ban termasuk yang harus di-OK-kan sebelum melakukan perjalanan panjang jarak jauh dengan sepeda motor. Namun begitu peristiwa pecah ban dalam perjalanan menggunakan kendaraan sepeda motor, sesuatu yang bisa saja terjadi tiba-tiba melemahkan semua persiapan praperjalanan yang telah dilakukan. Dari kasus-kasus pecah ban di perjalanan, doa selamat senantiasa mengiring perputaran ban terutama jika berada di lintasan wilayah tak berpenghuni. Dengan bersepeda motor saya dapat mengetahui serta menghafal betul lika-liku beberapa poros jalan negara yang merupakan jalan pintas, berjarak lebih pendek yg dibangun sejak masa pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan. Sayangnya jalan-jalan pintas yang lebarnya tak lebih dari 3 meter tersebut hingga kini kondisinya masih seperti dulu. Akibatnya, jalan-jalan tersebut yg umumnya berstatus sebagai jalan provinsi tidak jadi pilihan, karena justru akan merepotkan selain kurang lebar,  permukaannya banyak berlubang. Di antara jalan pintas di Sulawesi Selatan itu adalah poros Malino (Kabupaten Gowa) - Kabupaten Sinjai. Dari kota Makassar ke Sinjai melalui poros Malino ini lebih pendek sekitar 80 km dibandingkan melalui poros wilayah Kabupaten Jeneponto yang kini dijadikan pilihan umum ke Sinjai. Demikian pula dengan poros Solo - Kulampu (Kabupaten Wajo). Melalui poros ini jarak Kabupaten Luwu -Kabupaten Bone lebih pendek sekitar 40 km. Tetapi karena kondisinya yang masih jelek umumnya orang memilih jalur panjang melintasi Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo. Poros jalan negara yang juga lebih pendek dari Kota Makassar ke Kabupaten Tana Toraja melalui ruas jalan Malimpung (Kabupaten Pinrang) - Kabere (Kabupaten Enrekang), tapi karena jalannya sempit orang tetap banyak memilih jalan panjang melintas Kabupaten Sidrap (Sidenreng Rappang) menuju Toraja. Nasib sama dialami jalan pintas poros Pompanua (Kabupaten Bone) - Cabbenge (Kabupaten  Soppeng) yang lebih singkat dari wilayah Bone ke Soppeng atau sebaliknya. Lantaran kondisi jalannya yang tak nyaman, jalur panjang melintas Kabupaten Wajo yang jadi pilihan umum. Kebiasaan saya melakukan perjalanan antardaerah dengan sepeda motor, berangkat pagi hari. Selain dengan pertimbangan kondisi masih segar juga menghindari perjalanan malam hari dengan semua kemungkinan yang dapat merepotkan sebelum sampai ke tujuan. Satu-satunya perjalanan malam hari bersepeda motor yang pernah saya lakukan yaitu dari poros Pasar Atapange ke Kecamatan Penrang (Kabupaten Wajo) sejauh kl.17 km. Dan inilah perjalanan terasa paling mengesankan dengan sepeda motor. Untuk suatu urusan mendesak, kala itu,  saya harus ke Penrang malam itu juga. Ketika tiba di Pasar Atapange waktu sudah lewat tengah malam. Jalan ke arah Penrang terlihat begitu sepi. Sekitar setengah jam menunggu di Pasar Atapange tak satupun kendaraan yg melintas ke arah Penrang. Saat itu ada terbersit doa dalam hati, semoga ada kendaraan apa saja ke arah Penrang dan saya akan ikut bareng mengekornya. Selain disebut-sebut warga banyak lokasi angker sepanjang poros Atapange - Penrang. Jalan sepanjang kl. 17 km tersebut memang gelap di malam hari karena minim lampu jalan. Orang-orang menyebut banyak Pallawangang alias wilayah kosong tak berpenghuni yang angker sepanjang poros ini.  Dan itulah poros yang harus saya lintasi tengah malam. Dalam lamun menerobos poros tersebut, tiba-tiba dari kejauhan terlihat ada sorot lampu mobil bergerak ke arah Penrang. Saya segera menghidupkan mesin motor. Sesaat kemudian mobil itu melintas ke arah Penrang dengan kecepatan di atas 70 km/jam. Ini kesempatan pertama yang tak boleh dilewatkan. Saya memaksakan diri mengekor mobil tersebut dengan menjaga jarak antara 7 - 8 meter di belakangnya. Betapa tidak mengesankan, mobil yang saya ekori tersebut adalah mobil ambulance bermerek Kabupaten Luwu Timur. Dari kecepatan larinya, saya memastikan ambulance itu sedang mengantar jenazah, diperkuat dengan lampu merah yang dihidupkan berputar sepanjang jalan meski tak diiringi raungan sirine. Bermotor mengekor ambulance dengan kecepatan di atas 70 km/jam, jarak tempuh 17 km terasa begitu cepat dicapai larut malam itu. Ambulance pun yang aku ekori terlihat  meluncur menghilang ke jalan menuju Kecamatan Sajoanging, arah barat Penrang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline