Manatap denyut kehidupan masyarakat serta pemerintahan di Kabupaten Bantaeng hari-hari belakangan ini, mengingatkan kisah ketika mulai terpancar cahaya kehidupan saat turunnya Tomanurung di daerah yang berjuluk ‘Butta Toa’ jauh sebelum dikenal adanya pemerintahan kerajaan.
[caption id="attachment_159200" align="aligncenter" width="664" caption="Bupati Bantaeng, Prof.DR.Ir.HM.Nurdin Abdullah,M.Agr/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]
Kehadiran manusia kosmik yang digambarkan sebagai wujud setengah dewa di Bantaeng, seperti dalam kisah-kisah tua Tomanurung lainnya di Sulawesi Selatan. Tak hanya hadir mengenyahkan kesengsaraan melalui pengenalan cara bercocok tanam atau mengelola usaha-usaha di sektor pertanian. Akan tetapi juga memberikan tuntunan menata kehidupan masyarakat, yang damai dan bersatu untuk membangun kesejahteraan hidup secara bersama.
Sekalipun cerita Tomunurung disebut-sebut sebagai mitos, namun dari dua fakta sejarah yang ditemukan kemudian, boleh jadi pemitosan cerita manusia setengah dewa tersebut dapat dikecualikan bagi daerah Bantaeng.
Pasalnya, dalam buku Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365, nama Bantaeng sudah tercantum merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Majapahit ketika dipimpin Raden Wijaya. Kemudiandalam ‘Atlas Sejarah’ karangan Moh.Yamin (1956) menyebut Bantaeng telah menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Singosari (1254 – 1292) di Jawa Timur.
Dari kedua fakta sejarah tentang ‘Butta Toa’ itu, dapat dibayangkan betapa kehidupan masyarakat, pemerintahan, ekonomi maupun perniagaan di Bantaeng, sebenarnya telah tertata dan sudah tumbuh berdenyut sebelum tahun 1254 ketika Kerajaan Singosari hadir melakukan hubungan dengan Bantaeng.
Artinya, babak kehidupan kejayaan Kerajaan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa menjalin hubungan dengan Bantaeng di jazirah selatan Pulau Sulawesi masa silam, sukar diputus sebagai lanjutan dari cerita mitos kemajuan peradaban setelah kehadiran Tomanurung yang berlangsung sebelum masa-masa kerajaan di Bantaeng.
Sayangnya, laju pergerakan kehidupan di Bantaeng kemudian tak bersinambung. Sejarah mencatat. Kemunduran mulai terasa setelah Bantaeng dijadikan lumbung pangan dalam kendali Kerajaan Gowa abad XVI. Disusul masuknya penguasaan Pemerintahan Hindia Belanda (sejak 11 Nopember 1737 hingga 1941) menjadikan Bantaeng sebagai wilayah Afdeling (Keresidenan) yang membawahi Onder Afdeling Bulukumba, Sinjai, Selayar, dan Binamu (Jeneponto).
Seperti daerah lain di Indonesia, masyarakat Bantaeng yang tadinya hidup tenteram pascakehadiran Tomanurung, lalu terusik, dan bahkan menjadi kacau-balau dengan munculnya nafsu penguasaan dan ketamakan pihak penjajah. Rakyat dipaksa hidup dalam kancah pergolakan derita lahir batin, dan situasi memaksa melakukan perlawanan sekalipun dengan kekuatan tak berimbang.
Kehidupan negeri yang diliputi suasana ketidakpastian berlangsung hingga saat pasukan militer Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sejak tahun 1942.
Pergerakan perjuangan disertai perlawanan rakyat justru terasa makin membara setelah dicetuskan Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Terutama dengan kehadiran NICA (tentara Belanda yang membonceng tentara Sekutu) setelah menang perang atas Jepang, untuk mengisi kembali posisi-posisi kekuasaan di alam Indonesia yang telah merdeka.
Munculnya sejumlah peristiwa dalam negeri, seperti pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Republik Indonesia Serikat (RIS) antara tahun 1949 – 1951, menambah panjang rentang derita yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan rakyat di Bantaeng.
Upaya terkonsentrasi guna membangun kembali tatanan masyarakat di daerah ‘Butta Toa’ ini praktis baru mulai kembali setelah dibentuknya pemerintahan Daerah Tingkat II Bantaeng berdasarkan Undang-undang No.29 Tahun 1959, dipimpin Bupati Bantaeng pertama, A.Rivai Buluyang pelantikannya dilakukan 1 Pebruari 1960.
Luar Biasa
Membangun dan menata kembali kehidupan masyarakat yang pernah terobrak-abrik dalam suasana pemerintahan yang kacau, bukan persoalan mudah seperti melepas ludah dari mulut.
Lihat saja, setelah selama 48 tahun, terhitung sejak tahun 1960 hingga 2008, sudah 9 orang bupati silih berganti memimpin jalannya pemerintahan, pembangunan, dan urusan kemasyarakatan, toh Bantaeng masih saja berstatus sebagai daerah atau kabupaten tertinggal di Sulawesi Selatan.
Sampai dengan awal tahun 2008, Kabupaten Bantaeng masih sering dihebohkan dengan kasus-kasus warga bergizi buruk, gagal panen, dan tingkat kelulusan sekolah yang rendah.
Sebagian besar rakyatnya masih terpuruk dalam kemiskinan. Usaha pertanian dengan semua sektor yang merupakan potensi terbesar belum dapat dijadikan andalan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan dasar berkaitan dengan pendidikan maupun kesehatan misalnya, masih terbilang buruk. Kala itu, tercatat ada hampir 11 persen penduduk miskin dari sekitar 172 ribu jiwa penduduk (2008) yang berdiam di Kabupaten Bantaeng. Sedangkan angka pengangguran 9,32 persen.
Namun hanya dalam kurun sekitar dua tahun berkiprah, setelah Prof.Dr.Ir.H.M.Nurdin Abdullah,M.Agr dilantik sebagai Bupati Bantaeng yang ke-10, pada 6 Agustus 2008, sejumlah predikat buruk bagi Bantaeng dapat dihapus.
Sejak pertengahan tahun 2010 misalnya, pihak Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menghapus Bantaeng dari daftar daerah atau Kabupaten Tertinggal di Indonesia.
Dasar penilaiannya, antara lain, lantaran telah terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi di Bantaeng yang begitu cepat dari sekitar 5 persen di tahun 2008, naik menjadi 7 persen di tahun 2010.
Catatan terakhir, sampai Desember 2011 peningkatan pertumbuhan ekonomi Bantaeng sudah berada di kisaran 8 persen. Seiring dengan pertumbuhan tersebut, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi sekitar sisa 10 persen atau masih di bawah rata-rata angka kemiskinan provinsi maupun secara nasional, dengan jumlah pengangguran tertekan hingga sekitar 5 persen di akhir tahun 2011.
[caption id="attachment_159201" align="alignright" width="433" caption="Bupati HM.Nurdin Abdullah ketika mengikuti panen strawbery di Kawasan Agrowisata Uluere/Ft: Bappeda Bantaeng"]
[/caption]
Suatu pencapaian yang dikagumi berbagai pihak sebagai prestasi atau rekor baru upaya penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Hanya dalam tempo sekitar 3 tahun menduduki jabatan bupati, Nurdin Abdullah dapat menggalang kerja keras dengan segenap jajaran pemerintahannya, memacu pembangunan yang berdampak meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sekalipun baru berkiprah 3 tahun lebih dari 5 tahun masa pengabdian yang diamanahkan di periode 2008 - 2013, sudah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin lebih dari 20 persen di daerah yang kini berpenduduk lebih 176 ribu jiwa (2010).
Tak heran, jika tahun 2011 pihak Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dari Kantor Wakil Presiden RI memberikan apresiasi tersendiri terhadap upaya dan kiat yang dilakukan khususnya oleh Pemkab Bantaeng sehingga dapatmenurunkan angka kemiskinan yang terbilang sangat drastis tersebut.
Berdasarkan data dan hasil tinjauan lapang,Bantaeng kini masuk salah satu dari 10 kabupaten yang dicatat paling baik pertumbuhan ekonomi daerahnya di Indonesia. Pihak TNP2K -- tim yang bertugas membantu pencapaian target penurunan kemiskinan pada angka 18 persen secara nasional tahun 2014, justru men-stressing penciptaan pasar produk yang dilakukan Pemkab Bantaeng sekarang sebagai salah satu yang patut dicontoh dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan menurunkan angka kemiskinan secara nasional.
Salah satu yang paling menonjol dalam kepemimpinan mantan Ketua Persatuan Mahasiswa Dunia di Universitas Kyushu Jepang, yang sudah memasuki kurun 3 tahun sebagai bupati yang memimpin jalannya pembangunan, pemerintahan serta urusan-urusan kemasyarakatan di Bantaeng adalah memanfaatkan jaringan untuk mengolah sekaligus membuka akses pasar berbagai potensi yang dimiliki daerah ini.
Tak hanya sebatas menjalin hubungan kerjasama dengan pengusaha atau investor di negeri Sakura. Akan tetapi juga dari sejumlah negara lain, seperti Arab Saudi, Malaysia, Korea Selatan, dan Rusia sebagai pasar produk masyarakat Kabupaten Bantaeng.
Bahkan dari sejumlah jalinan kerjasama yang dirintis Pemkab Banteng tersebut justru melibatkan daerah kabupaten lain, termasuk daerah di luar Sulawesi Selatanuntuk penyediaan bahan baku. Sebut misal untuk kebutuhan industri Pabrik Pembuatan Surimi yang sudah didirikan pengusaha Jepang di Kota Bantaeng, ibukota Kabupaten Bantaeng. Bahan baku ikannya justru sementara ini masih sebagian dipasok dari wilayah kabupaten lain, termasuk yang ada di kawasan timur Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku sampai 40 ton ikan/hari.
Demikian juga dengan kerjasama permintaan penyediaan Talas Safira dengan pihak Jepang. Pemkab Bantaeng sampai saat ini baru dapat memasok sampai sekitar 10.000 ton setahun. Sedangkan kebutuhan komoditi yang mengandung zat anti kanker dan kologen ini di pasaran Jepang mencapai 360.000 ton setahun.
Pemkab Bantaeng memotori pengembangan tanaman talas, dan diminati masyarakat karena bernilai ekonomis yang tinggi. Bayangkan, untuk setiap hektar tanaman talas dapat menghasilkan 40 ton dalam masa tanam 4-5 bulan. Dengan harga saat ini Rp 5.000/kg talas, berarti dapat dihasilkan Rp 200 juta/panen. Dengan 2 kali panen saja setiap tahun, berarti petani talas dapat memperoleh hasil kotor sebanyak Rp 400 juta dari setiap hektar lahan yang dimiliki. Suatu hasil yang luar biasa, dibanding tanaman padi atau tanaman perkebunan lainnya dari luas areal penanaman dan kurun waktu yang sama.
Di Bantaeng sendiri, terdapat lahan seluas 1.750 hektar yang cocok untuk pengembangan tanaman talas tersebut. Rumput laut, jagung, padi gogo, bawang merah, dan cabe dataran rendah saat ini merupakan produk unggulan dari Kabupaten Bantaeng.
Selain komoditi Talas Safira dan Surimi yang sudah diekspor ke Jepang, Biji Kapok dan Tongkol Jagung juga adalah komoditi asal Bantaeng yang kini telah dibukakan pasarannya di Korea Selatan.
Komitmen Nurani
Dalam berbagai kesempatan berbincang dengan Bupati Bantaeng peraih gelar Doktor of Agriculture dari Kyushu University, Jepang (1994) yang sebelumnya juga menduduki posisi sebagai Presiden Direktur PT.Maruki Internasional Indonesia, President Director of Global Seafood Japan, dan Director of Kyushu Medical Co.Ltd, Japan ini menyatakan, melihat potensi kekayaan alam di hamparan alam tiga dimensi, laut, dataran dan pegunungan yang dimiliki Bantaeng, wajar jika sejak masa silam daerah ini jadi pilihan sejumlah kerajaan besar Nusantara untuk menjalin hubungan persahabatan, dan terutama hubungan kerjasama di sektor perekonomian.
Akan tetapi, katanya, sebaliknya menjadi tidak pantas jika masyarakat Bantaeng hidup dalam kemiskinan di tengah potensi alam yang begitu banyak.
‘’Nawaitu saya menjadi bupati, sejak awal adalah untuk mewakafkan diri menata dan membangun kembali kejayaan Bantaeng, seperti yang pernah dicapai masa lalu tapi dalam suasana kekinian. The New Bantaeng. Bantaeng baru yang masyarakatnya hidup aman, damai, dan sejahtera. Komitmen nurani saya selama jadi Bupati akan berupaya sekuat mungkin menghilangkan kemiskinan di daerah ini,’’ kata Nurdin Abdullah yang pencalonan dirinya sebagai Bupati Bantaeng periode 2008 – 2013 atas permintaan masyarakat dan dukungan gabungan 14 partai di Bantaeng.
Sepanjang tiga tahun (2008 – 2011) perjalanan kepemimpinan Bupati Nurdin Abdullah, Bantaeng sudah mampu tampil meraih kemajuan, memperoleh penghargaan atas sejumlah prestasi bidang pembangunan, pemerintahan dan urusan kemasyarakatan di tingkat provinsi maupun tingkat nasional.
Pemacuan pembangunan berbagai infrastruktur di wilayah yang berjarak sekitar 120 km dari Kota Makassar ini, selain sudah terlihat memberikan dampak peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah. Kota Bantaeng, ibukota Kabupaten Bantaeng kini terlihat berkembang dan dikembangkan secara terkoordinasi dengan penyediakan berbagai utilitas serta fasilitas hingga berstandar internasional sebagai suatu Kota Pusat Pelayanan serta Pertumbuhan Baru di wilayah selatan Sulawesi Selatan.
Lewat gagasan The New Bantaeng, Bantaeng Baru, Bupati Nurdin Abdullah telah memoles pantai yang terbentang sepanjang lebih dari 21 km di selatan Bantaeng, tak sebatas sebagai ladang usaha nelayan penangkap ikan dan untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Akan tetapi view indah Laut Flores di selatan Bantaeng tersebut kini sedang giat-giatnya ditata sebagai obyek wisata pantai bertaraf Internasional. Hotel berbintang sudah siap dibangun di lahan pantai yang telah direklamasi seluas 5 ha di depan pusat Kota Bantaeng. Ada rencana pembangunan sport centre. Ada Pantai Lamalaka yang mengadopsi suasana alami masa lalu Pantai Losari di Makassar, dengan penataan lingkungan dan pedestrian yang menawan. Demikian dengan Pantai Seruni yang menjadi obyek rekreasi dan relaksasi menarik siang dan malam hari di Kota Bantaeng.
Pantai Marina Korong Batu, di ujung timur Kota Bantaeng yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bulukumba, kini sedang dalam penyelesaiaan pembangunan sebagai obyek rekreasi dilengkapi berbagai sarana dan fasilitas level obyek wisata pantai berskala internasional.
Mulusnya Jalan-jalan berkualitas hotmix tak hanya seperti yang kini terlihat mengitari dataran rendah Kota Bantaeng, kota peraih Piala Adipura 2010. Namun juga sudah mencapai wilayah pedesaan hingga yang berketinggian 1.300 dpl di utara Kabupaten Bantaeng. Dengan telah di-hotmix-nya jalan, hanya diperlukan waktu kurangdari 30 menit perjalanan untuk mencapai Kawasan Agrowisata Uluere di ketinggian 1.200 dpl.
Tanaman apel, strawberry, dan berbagai jenis bunga kini sudah mulai berkembang sebagai sumber usaha baru warga di Kawasan Agrowisata Bantaeng yang masyarakatnya sejak lama akrab dengan komoditi berbagai jenis tanaman sayuran, buah-buahan, serta berbagai jenis tanaman hortikultura dataran tinggi lainnya.
Dalam kepemimpinan Bupati Nurdin Abdullah, Uluere dan sekitarnya kini sudah terpoles menjadi kawasan wisata puncak yang sejuk, seperti Malang di Jawa Timur. Bahkan kawasan ini bisa jadi jalur wisata baru di Sulawesi Selatan, jika jalan sekitar 15 km menghubungkan kawasan Uluere ke obyek wisata Malino, Kabupaten Gowa dapat segera dipermulus.
Kehidupan masyarakat dalam berbagai lapangan kehidupan serta bidang usaha, mulai dari pesisir pantai, dataran rendah, hingga wilayah dataran tinggi di Kabupaten Bantaeng kini terlihat dan terasa begitu bergairah. Mengingatkan gairah kehidupan dalam cerita lama Tomanurung ketika baru mulai mengenalkan cara dan teknik bercocok tanam padi sebagai sumber bahan makanan masa purba di Bantaeng.
Namun demikian, Bupati Nurdin Abdullah yang disebut-sebut berbagai kalangan dalam banyak kesempatan perbincangan sebagai ‘Tomanurung' Abad Milenium di Bantaeng, tak pernah terlihat beretorika mengenai sejumlah keberhasilan dan prestasi yang diraih Bantaeng di tangan kepemimpinannya setelah berkiprah dalam kurun tiga tahun (2008 – 2011).
‘’Upaya membangun daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat tak dapat disiasati dengan kepandaian bercerita, karena hal itu langsung dapat dilihat, serta dirasakan oleh setiap orang. Kita bisa bilang grafik kenaikan ekonomi melebih angka terbaik 10 misalnya. Tapi orang akan gusar jika kenyataan sekeliling masih banyak warga yang susah beli beras untuk makan setiap hari,’’ kata Nurdin Abdullah.
Catatan: Naskah ini sebelumnya dijadikan materi bacaan peringatan Hari Jadi Bantaeng ke 757, 7 Desember 2011 di Kota Bantaeng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H