Lihat ke Halaman Asli

Mahaji Noesa

TERVERIFIKASI

Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

Puisi ‘Udhin Palisuri’ Menembus Hingga Markas Militer

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1299322994522038022

Hampir tiap hari menulis, menulis dan mendeklamasikan puisi. Itulah H.Udhin Palisuri, seorang budayawan dan seniman penyair di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Puluhan ribu judul puisi yang telah diproduk oleh ayah dari empat orang anak ini. Menariknya, sebagian dari puisi-puisi yang ditulis sejak tahun 1970 tersebut dideklarasikan langsung kepada publik. Selain, puluhan antologi atau kumpulan karya puisinya telah diterbitkan oleh berbagai kalangan, instansi, badan, lembaga pemerintah dan swsata maupun pribadi.

[caption id="attachment_93413" align="alignright" width="500" caption="H.Udhin Palisuri ketika membacakan puisi dalam acara di lingkungan Kepolisian/Ft:dok"][/caption]

Rasanya, belum ada penyair di Indonesia yang dapat menyamai lelaki kelahiran Enrekang tahun 1948 ini yang begitu energik, dapat menerobos semua lapisan, mulai dari kelompok masyarakat sipil yang terdiri atas berbagai tingkatan, usia, profesi dan bidang usaha, hingga jenjang birokrasi, kampus, markas militer, politik, hukum, ekonomi, perbankan, kelistrikan, pertanahan, pertambangan, perdagangan, agama, etnis, dan lain-lain, untuk mendeklamasikan karya puisinya.

Apalagi suami Endang Sulystiowati (purna Show Window TVRI Makassar), yang pernah menimbah ilmu di Akademi Penerangan Jurusan Publisistik Jakarta, dan menggeluti profesi sebagai wartawan di berbagai penerbitan suratkabar, dapat membuktikan eksistensinya sebagai budayawan dan seniman penyair yang berkarya tanpa berpihak rezim.

‘’Dia seniman yang sanggup beradaptasi dengan perubahan sehingga bisa survive,’’ komentar penulis muda sekaligus penerbit buku, Rusman Madjulekka.

Banyak pihak yang mengamati perjalanan kehidupan penyair asal Sulsel ini, amat menyayangkan karena pihak Museum Rekor Indonesia (MURI) hingga kini belum memberikan apresiasi dari rekor penciptaan sekaligus pendeklamasian puisi-puisi oleh H.Udhin Palisuri. Pada hal, penyair yang populer dijuluki sebagai ‘Jenderal Puisi’ -- lantaran hanya dia satu-satunya seniman yang mampu menerobos mendeklamasikan karya puisi di kalangan kehidupan militer. Dia selalu diundang untuk membacakan karya puisinya dihadapan para jenderal TNI maupun Kepolisian di Sulsel dan daerah lain di Indonesia.

Tak hanya berkiprah di wilayah kabupaten/kota di Sulsel. Selama lebih dari 40 tahun mengabdikan diri sebagai seniman penyair, H.Udhin Palisuri justru sudah mendeklamasikan karya-karya puisinya dalam berbagai momentum yang dinikmati khalayak luas di berbagai wilayah provinsi di Indonesia. Kegiatan terakhir, dalam bulan Pebruari 2011, ia barusan berkeliling di sejumlah tempat membacakan puisi di hadapan ribuan warga yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) di Provinsi Papua dan Provinsi Kalimantan Timur.

Sudah tiga kali budayawan yang seniman penyair asal Sulsel ini pun tampil membacakan puisinya dalam acara persahabatan Indonesia – Malaysia dihadapan Perdana Menteri Malaysia, Dato Sri Najib Tun Abd Razak. Beberapakali H.Udhin Palisuri mendapatkan dekapan hangat langsung dari Perdana Menteri Malaysia tersebut setelah mendeklamasikan karya puisinya. Mantan Presiden BJ.Habibie pun, sejak beberapa tahun lalu memberikan penghargaan tersendiri dengan mendirikan Monumen Puisi H.Udin Palisuri di sekitar Pantai Mallusetasi, di Kota Parepare. Rasanya, hingga saat ini belum ada penyair di Indonesia yang mendapatkan penghargaan khusus seperti penyair H.Udhin Palisuri yang dibuatkan sebuah monumen khusus untuk mengabadikan karya puisinya.

[caption id="attachment_93414" align="alignleft" width="489" caption="Perdana Menteri Malaysia Dato Sri Najib Tun Abd Razak bersama H.Udhin Palisuri usai membacakan puisi di Selangor, Kuala Lumpur/Ft:Dok."]

1299322682747764525

[/caption]

Mantan Ketua Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS) ini menyatakan, beberapa waktu lalu ada sejumlah orang yang mengomentari karya-karya puisinya sebagai ‘Puisi Pesanan’. ‘’Tapi saya tidak peduli. Saya tetap berkarya. Puisi sebagai karya seni yang baik apabila dapat diapresiasi oleh khalayak, dan itu telah dan akan terus saya buktikan. Puisi sebagai getar jiwa menyangkut berbagai hal dalam kehidupan diujudkan melalui estetika berbahasa, tak akan bisa dinikmati apabila hanya sebagai lembar-lembar tulisan yang ditumpuk dalam lemari buku’’ kata H.Udhin Palisuri.

‘’kutulis puisi dalam kata/kutulis puisi dalam diam/kutulis kata hati/kutulis sepi/puisiku bergetar dalam nafasmu’’ (Puisi ‘Tulis Sepi’ karya H.Udhin Palisuri).

‘’diantara kita/kau dan aku satu bangsa/tanah tumpah darah//diantara kita/kau dan aku satu matahari/berbagi dalam cahaya//diantara kita/kau dan aku satu tanah air/Indonesia tercinta’’ (dari Kumpulan Puisi ‘Karebosi’/Indonesia Tercinta/H.Udhin palisuri).

Menurut seniman penyair, penerima Celebes Award tahun 2002 ini, seniman harus selalu percaya diri mencari semua celah untuk menampilkan karyanya kepada publik jika ingin karyanya tersebut mendapat apresiasi, dikritisi atau mendapat keplokan meriah. ‘’Apresiasi masyarakat terhadap karya-karya puisi saya yang dapat diterima di semua lapisan adalah suatu hasil dari perjuangan panjang yang tak kenal lelah,’’ katanya.

Dua teks pidato resmi, masing-masing yang disediakan untuk dibacakan oleh Gubernur Sulsel H.Syahrul Yasin Limpo dan Bupati Bantaeng H.Nurdin Abdullah, dalam rangka Peringatan Hari Jadi Kabupaten Bantaeng, Desember 2010 lalu, tak dibaca utuh, materi intinya kemudian berubah mengikuti inti dari pesan puisi karya H.Udhin Palisuri yangdideklamasikan sebagai acara awal peringatan Hari Jadi Bantaeng yang disiarkan 'live' melalui saluran Makassar TV tersebut.

‘’Puisi yang dideklamasikan H.Udhin Palisuri sebenarnya juga sudah merangkum doa yang akan saya bacakan,’’ kelakar KH.Sanusi Baco,Lc, Ketua MUI Sulsel yang sekaligus adalah Ketua Umum Yayasan Masjid Raya Makassar sebelum membacakan doa penutup pada peringatan Hari Ketujuh meninggalnya wartawan senior Dien Monoarfa, ayahanda Ketua Bappeda Provinsi Gorontalo, Prof.Dr.Hj Winarni Monoarfa, di Kota Makassar beberapa waktu lalu.

‘’Terkadang, dalam sehari ada permintaan pembacaan puisi pada dua hingga tiga tempat dalam momen acara yang berbeda,’’ aku H.Udhin Palisuri. Kehadirannya di tempat-tempat umum sudah diidentikkan dengan puisi. Pihak Panitia ‘SINDO Touring’ Desember 2010 lalu serta merta mendaulat untuk membacakan sajak saat H.Udhin Palisuri terlihat melintas untuk suatu urusan di kediaman Bupati Bantaeng di Kota Bantaeng, ibukota Kabupaten Bantaeng.

‘’Permintaan baca puisi secara dadakan seperti itu terlalu sering terjadi. Ketika baca puisi dalam acara pelantikan Pengurus BPC Kerukunan Keluarga Pinrang (KKP) 27 Pebruari lalu di Tarakan, Walikota Tarakan H.Udin Hianggio yang turut hadir pun spontan menggaet saya untuk baca puisi pada acara peluncuran bukunya,’’ ujar Sang ‘Jenderal Puisi.’

Dalam usia memasuki 63 tahun sekarang, H.Udhin Palisuri senantiasa tampil parlente dengan ciri khas kepala ‘sejak dulu’ berambut gondrong. Sejak menampilkan diri di media jejaring sosial, alamat ‘Jenderal Puisi’ ini sedikitnya setiap hari dikunjungi 30 hingga 50 yang meminta add pertemanan. ‘’Kayaknya masih seperti ABG,’’ katanya, kemudian ngakak, menanggapi banyaknya permintaan kalangan muda setiap hari yang ingin menjalin persahabatan melalui jalur FB-nya.

Hari-hari terakhir ini H.Udhin Palisuri juga sedang konsen melakukan proses rekaman musikalisasi sejumlah karya puisinya. ‘’Penggandaan CD rekaman musikalisasi puisi tersebut nantinya akan dilakukan sesuai pesanan atau permintaan,’’ ujar Endhina, satu-satu anak perempuan H.Udhin Palisuri yang bertindak sebagai produser eksekutif rekaman.

‘’….….Petta Puang berteriak: DAHSYAT!/penonton bersorak/I Gimpe dan I Congak/lari keliling panggung/JAGONA TAUWWA !.’’ (dari puisi ‘Petta Puang’ karya H.Udhin Palisuri).

Buku Kumpulan Puisi H.Udhin Palisuri:

1. Bulan Pagi Hari

2. Ibunda

3. Air Mata Bangsa

4. Bom Makassar

5. Puisi Ajjattapareng

6. Puisi Kantong Semen

7. Jendela ‘Balla Lompoa’

8. Ewako Rakyat

9. Demokrasi untuk Rakyat

10. Tanah untuk Rakyat

11. Menata Bumi Meniti Asa

12. Gorontalo: Aku Sayang Padamu

13. Dari Massenrengpulu Memandang Indonesia

14. Menjaring Matahari, Nyanyian Tanah Papua

15. Karebosi, Puisi untuk Makassar, dll




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline