<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
Kondisi politik Indonesia semakin panas dengan hampir berakhirnya misteri besar hilangnya uang rakyat sebesar 6,7 triliun. Kejadian-kejadian di akhir kisah panjang Bank Century ini semakin membuat kita semua geregetan. Sekarang semua seolah mencari kambing hitam. Saling lempar batu sembunyi tangan. Pimpinan ibadah dikira cari dukungan. Semua tindak tanduk direspon secara emosional. Apakah ini merupakan proses menuju perbaikan?
Demokrasi di negara kita telah berjalan sekitar 12 tahun, tetapi apa yang diharapkan dari demokrasi tersebut hingga kini belum begitu terasa. Demokrasi yang memberikan peluang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk bersuara diharapkan akan mampu membawa bangsa ini kea rah yang lebih baik. Namun, pada kenyataanya hingga sekarang perbaikan itu belum kentara. Semua orang sibuk bersuara hingga lupa berpikir sehingga apa yang disuarakan hanya menjadi pepesan kosong, kritik tanpa solusi. Yang pusing tentu saja para pengambil keputusan.
Repot memang menjadi pengambil keputusan di negeri ini. Masyarakatnya tampaknya sedang memasuki masa pubertas, dari anak-anak yang selalu diatur oleh rezim orde baru menjadi manusia dewasa yang bebas menentukan pilihan. Akibatnya, masyarakat ini susah diatur. Selayaknya remaja kebanyakan, masyarakat kita sangat mudah mengkritisi sesuatu tetapi sulit bertanggung jawab mencari solusinya. Orang tualah yang kemudian pusing anaknya mau apa. Ditanya pendapat g ngomong,,salah kasi ngambek. Begitu mungkin yang dirasakan Pak Budi dan Bu Sri.
Lalu dimana letak kesalahanya? Tidak ada yang salah namun satu sama lain perlu belajar. Disini yang perlu banyak belajar ya anaknya karena moso’ anak nyalahke orang tua. Orang tua juga bukan berarti terus seenaknya, cobalah pahami anak sendiri. Sebagai seorang anak, kita hendaknya percaya dengan pilihan orang tua kita. Demikian pula sebagai masyarakat, kita harus mulai belajar percaya kepada para pemimpin bangsa ini. Bagaimana pemerintah mau bekerja membangn negeri jika setiap keputusan harus dikritisi secara berkepanjangan. Akhirnya, habislah energy pemerintah untuk mengurusi rengekan anak-anaknya sehingga waktu bekerjanya berkurang. Kita jangan terus menyalahi mereka yang mengambil kebijakan karena beban yang mereka emban sudah cukup berat tanpa harus ditambahi sinisme masyarakat. Kalopun ternyata kebijakan itu salah, ya normal, namanya juga manusia. Namun, kebijakan yang salah tersebut tetap lebih baik daripada tidak mengambil kebijakan.
Oleh karena itu, marilah kita menjadi manusia dewasa yang arif. Biarkan pemerintah menjalankan tugasnya dengan tenang. Tiga bulan bukanlah waktu yang cukup untuk menjudge bahwa pemerintah gagal. Jika kita terus menyalahkan pemerintah atau yang lebih parah setiap kebijakan yang diambil selalu menjadi boomerang bagi si pengambil kebijakan, saya khawatir para pemimpin kita akan takut dalam mengambil kebijakan. Kekhawatiran jangka panjangnya adalah negara kita tidak akanmaju karena untuk melakukan sesuatu saja debatnya panjang dan tidak berujung. Apakah kita mau seperti itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H