Sambungan dari artikel sebelumnya, ziarah di makam Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Jayakarta pada bagian (1/2).
Bung Karno
Presiden Pertama Republik Indonesia ini namanya harum di dunia internasional. Bung Karno dikenal sebagai sosok revolusioner yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme rakyat.
Kunjungan ke makam Bung Karno awalnya bukan menjadi rencana utama saya. Masih dalam suasana libur lebaran, akhir Juni 2018, ibu saya mengajak pergi ziarah ke Gua Maria Lourdes di Puhsarang, Kediri. Setelah membeli tiket kereta api, saya baru menyadari letak Kota Kediri yang tidak jauh dengan Blitar dan Jombang. Sedari itu timbullah rencana untuk ziarah juga ke makam Bung Karno di Blitar, dan makam Gus Dur di Jombang. Posisi tiga kota di Jawa Timur ini memang berdekatan, jarak dari Kediri ke Blitar kurang lebih 1 jam dengan mobil pribadi kearah selatan. Begitu juga jarak dari Kediri ke Jombang, hanya 1 jam dengan mobil pribadi kearah utara.
Setelah kunjung ziarah ke Gua Maria di Kediri, dengan mobil sewa, kami menuju ke Blitar. Cuaca hari itu cerah bahkan panas terik. Suasana Kota Blitar kurang lebih sama dengan kota-kota kecil di Pulau Jawa pada umumnya. Masih banyak pepohonan, masyarakatnya terlihat santai, tidak ada hiruk pikuk. Sampailah saya di komplek makam Sang Proklamator, pukul tiga sore. Dari pintu masuk, sudah terlihat banyak sekali peziarah yang datang. Kebanyakan datang dengan rombongan, belasan sampai puluhan orang dalam satu rombongan. Sebelum sampai ke makam, terdapat unit perpustakaan terpadu yang menyimpan koleksi lukisan, buku, dan benda-benda bersejarah milik Sang Proklamator. Didepan perpustakaan ada patung besar Soekarno sedang duduk diatas bangku, dengan tatapan mata tajam kedepan yang menjadi ikon dan menjadi objek foto. Kami bergegas kedalam. Pengelola mewajibkan para peziarah untuk membayar tiket apabila ingin berkunjung ke makam. Harga tiket masuk terbilang murah untuk komplek makam sebesar ini. Hanya tiga ribu rupiah untuk satu orang.
Setelah melepas alas kaki, kami naik ke pendopo yang dibuat lebih tinggi. Ditempat inilah orang-orang berziarah, berdoa, bershalawat. Saya dapat tempat persis disebelah kanan makam. Dibagian kepala makam, ada sebuah prasasti hitam dengan tulisan tinta emas, 'Disini Dimakamkan Bung Karno Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia' kemudian ditulis tanggal lahir dan wafat beliau, selanjutnya disambung, 'Penyambung Lidah Rakyat'. Didekatnya ada juga makam kedua orang tua Bung Karno. Segera saya letakan ditengah pusara, bunga mawar merah yang sempat saya beli didepan komplek makam tadi. Ditengah lantunan shalawat, saya membuat tanda salib, menutup mata, dan berdoa. Ditengah keramaian saya merinding.
Penuh syukur pada Tuhan karena bisa sampai untuk kunjung ziarah ke makam ini. Dalam panjatan doa yang penuh refleksi saya mengenang sikap dan tindakan Bung Karno. Berbekal pengetahuan yang saya ingat dari buku, suara dan video-video di internet, saya membayangkan betapa hebatnya sosok yang terkubur dalam pusara ini. Terbayang seseorang dengan jas putih, dan peci hitam, memegang tongkat sedang berpidato berapi-api diatas podium. Ketika sosok itu berpidato, semua yang mendengarya terdiam bak tersihir oleh semangatnya. Sosok ini mampu menggetarkan hati setiap orang yang bertemu dan mendengar suaranya. Sosok ini mampu menggerakan masa dalam jumlah yang amat banyak, untuk mencintai tanah airnya. Untuk bangkit dari ketertindasan. Untuk sadar dan bersatu sebagai rakyat Indonesia. Untuk membawa rakyat Indonesia terbebas dari penjajahan dan menyongsong kemerdekaan! Hingga untuk kesekian kalinya, jika Tuhan mengabulkan permohonan ini, biarlah beliau memperoleh hidup kekal di surga. Beberapa hal penting yang bisa dipetik dari riwayat hidup beliau adalah jiwa kepemimpinan dan keberpihakannya pada rakyat kecil. Menjadi seorang pemimpin dipandang sebagai orang besar. Orang besar bisa diartikan terkenal, berpengaruh, mendominasi, dan berelasi dalam lingkaran orang-orang besar juga. Tetapi Soekarno justru menunjukan bahwa meski ia dikelilingi orang-orang besar, ia tetap berpihak pada kaum kecil. Kaum dimana ia tumbuh dan berkembang. Kaum yang menjadikan dirinya besar. Dengan marhaenismenya ia selalu dikenang dalam ingatan rakyatnya. Hingga saat ini.
Gus Dur
Setelah mengunjungi makam Bung Karno di Blitar, kami langsung menuju Jombang melalui jalan alternatif melewati Pare, Kediri yang terkenal dengan kampung inggrisnya. Dua jam lebih perjalanan ini ditempuh, akhirnya tiba juga di daerah Cukir, dengan suasana kampung santri yang khas. Sepanjang jalan kampung, saya melihat kampus Universitas Hasyim Asyari, beberapa madrasah, masjid, dan pondok pesantren. Mobil kami parkir didepan Masjid Ponpes Tebuireng. Tebuireng adalah nama dari dusun setempat yang juga dijadikan nama pesantren ini, artinya kerbau hitam. Dulunya Tebuireng dikenal sebagai tempat perjudian, prostitusi, sarang perampok, namun semenjak kedatangan K. H. Hasyim Asy'ari dan santrinya, perlahan pola hidup masyarakat berubah semakin baik, hingga akhirnya pola hidup negatif terkikis habis.
Kami tiba menjelang maghrib. Ternyata makam Gus Dur yang letaknya didalam komplek pesantren tutup sejenak bagi peziarah, dan baru dibuka kembali pukul 20.00. Akhirnya kami istirahat, sembari menunggu supir menunaikan sholat maghrib. Setelah itu kami makan malam, dan kembali lagi ke parkiran mobil pukul 19.00.
Kami berjalan kaki menuju Pondok Pesantren Tebuireng. Jalan dusun dipenuhi dengan pedagang oleh-oleh seperti tahu takwa dan keripik gadung, dan jajanan ringan yang selalu ada di Jawa Timur, pentol namanya. Sama seperti para peziarah lain, kami berdiri dan menunggu pagar pesantren dibuka. Meski satu jam menunggu, rasanya tidak bosan. Saya sangat menikmati keramaian ini. Didepan saya berdiri kokoh sebuah pesantren dengan dinding berlapis keramik. Dengan tulisan besar diatasnya 'Pondok Pesantren Tebuireng 26 Rabiul Awal 1899 M, Pintu Utama Pesarean Keluarga Besar Pesantren Tebuireng'. Terasa sekali antusiasme para peziarah yang menunggu. Saya tebak para peziarah ini datang dari berbagai tempat. Sejauh yang saya tangkap, mereka datang dari Banten atau Jawa Barat karena mereka berbicara dengan Bahasa Sunda. Adalagi yang berbahasa Madura, yang datang berbondong-bondong dengan bus dan mobil ELF. Akhirnya seorang dengan jaket loreng khas Banser dengan motor bebeknya, membukakan pagar untuk para peziarah. Cepat-cepat kami masuk ke pelataran pesantren. Masing-masing ingin berada di posisi paling depan. Lampu pelataran dinyalakan, terlihat makin megah tampak depan pesantren ini. Makin terasa antusiasme para peziarah. Akhirnya tepat pukul 20.00 gerbang utama dibuka. Kami semua masuk melalui koridor utama pesantren, terlihat ruangan-ruangan kegiatan para santri. Nama-nama ruangan ditulis menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab. Menyusuri koridor kira-kira 50 meter, sampailah saya pada ruangan terbuka dengan area makam yang dikelilingi pagar, didepannya ada pendopo yang sepertinya dibangun khusus untuk para peziarah. Tidak sampai 5 menit, pendopo langsung dipenuhi peziarah.